Kereta api Bogowonto yang membawa saya ke Jogja sampai di stasiun Tugu pukul setengah 6 pagi. Jogja sepertinya baru saja diguyur hujan lebat. Aspal-aspal meninggalkan kecipak air yang memantulkan sinar hangat matahari pagi. Dengan membawa carrier seberat empat puluh liter saya berjalan menyusuri jalanan Malioboro. Sungguh menyenangkan melihat Jogja di pagi hari. Melihat orang-orang yang memilih sibuk berjalan, lalu lalang kendaraan yang tidak seberapa, pedagang-pedagang yang bersiap menggelar lapak, semua itu memberikan  kehangatan tersendiri di dada saya.

Matahari beranjak naik. Melalui celah daun saya bisa merasakan kehangatan cahaya itu. Saya memutuskan meletakkan carrier di depan Benteng Vredeburg dan memilih menikmati Jogja dengan secangkir kopi. Setelah puas melepas lelah, perjalanan saya berlanjut. Saya menuju ke Terminal Jombor menggunakan Transjogja. Dari Terminal Jombor, saya kemudian naik bus ke Magelang dan turun di pertigaan Blabak. Sampai di Magelang, cuaca cukup cerah. Sepanjang jalan saya bisa melihat pemandangan yang bisa menyejukkan mata. Deretan pepohonan yang bergerak melawan arah serta jalan berkelok seolah menyatu pada satu titik yang berpusat pada puncak Merapi yang membuat saya berdecak kagum.

Bukan tanpa alasan saya memutuskan untuk melakukan perjalanan. Sebab dengan berjalan, saya bisa ‘menemukan’. Dan ini adalah perjalanan saya yang kesekian setelah bertahun-tahun yang lalu keinginan untuk mendaki gunung itu ada di kepala saya.

Saya benar-benar dibuat takjub dengan sajian alam yang disuguhkan di sepanjang perjalanan. Kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya saya sampai ke pertigaan Blabak. Sebelum sampai di basecamp pendakian Merapi via New Selo, saya harus menempuh perjalanan dengan angkot dari pertigaan Blabak ke Tlatar Sawangan yang kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju basecamp.

Saya menghela napas, bukan karena lelah. Tapi karena tidak percaya. Bahwa akhirnya saya akan menuju puncak itu.

*

Selo terletak di kabupaten Boyolali. Berada pada ketinggian 1.560 mdpl, menjadikan Selo sebagai salah satu desa strategis karena terletak di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Sementara New Selo ini adalah satu-satunya jalur yang masih dibuka untuk pendakian Merapi setelah jalur Babadan dan Kineharjo ditutup akibat erupsi Merapi pada tahun 2010. Sesampainya di gerbang Selo, saya masih harus berjalan selama kurang lebih 15 menit untuk sampai ke basecamp Barameru yang merupakan satu-satunya basecamp yang terkenal di Selo. Dan di basecamp itulah saya kembali bertemu dengan pemuda itu.

Namanya El.

Perkenalan saya dengan El awalnya terjadi saat kami sama-sama melakukan pendakian ke Rinjani beberapa tahun lalu. Bersama rekan wanitanya, Sekar, cerita pendakian ini kemudian dimulai.

El yang eksentrik ternyata merupakan seorang aktivis kampus yang terkenal idealis, begitu yang Sekar bilang. El tidak suka aturan-aturan yang dibuat oleh kampus. Karenanya, dia lebih sering bersikap melawan dibanding tunduk pada aturan. Di kampus, El aktif pada UKM Teater yang tidak begitu diminati. Dari penampilannya yang terkesan urakan itu, saya bisa menebak jika El menyukai seni. Dan dari Sekar pulalah saya tahu bahwa selain suka menggambar, El juga suka menulis. Beberapa tulisan El yang dia posting di blog pribadinya lah yang kemudian menjadikan Sekar tertarik mengenal pemuda itu lebih jauh. Singkat kata, Sekar memendam kekagumannya pada El.

Sementara Sekar yang lemah lembut itu sangat berbeda dengan El. Berdasarkan cerita yang saya dengar dari El, sebelum berkenalan dengan El, Sekar merupakan salah satu mahasiswi idaman di kampus. Parasnya yang cantik dan otaknya yang cerdas menjadikan Sekar sebagai ketua HMJ yang bisa dikatakan sebagai musuh utama dari UKM Teater tempat El bernaung.

Bertolak belakang dengan El, Sekar sangat tunduk pada aturan-aturan kampus. Memiliki IPK nyaris sempurna di setiap mata kuliah menjadikannya mahasiswi yang disenangi dosen. Hingga sebuah kejadian yang melibatkan dia dan El menjadikan nama baik Sekar di mata HMJ rusak. Kejadian itu pula yang akhirnya membuat El dan Sekar bertemu, kejadian yang akhirnya menakdirkan mereka sebagai ‘sepasang yang melawan.’

Pendakian dari basecamp dimulai dengan trek menanjak hingga sampai pada sebuah plang penanda bertuliskan “New Selo”, sebagaimana plang di Hollywood yang merupakan gerbang penanda masuk ke Taman Nasional Gunung Merapi. Di kawasan ini, trek masih didominasi oleh perkebunan sayur milik penduduk. Ladang-ladang terbuka yang didominasi warna hijau memanjakan mata saya.

Dengan diiringi joke-joke ringan dan manja, saya masih menyimak cerita mereka.

Melalui mereka, saya belajar tentang hakikat mendaki. Bahwa mendaki tidak hanya untuk kesenangan semata atau untuk diakui bahwa kita hebat dan semacamnya. Lebih dari itu, mendaki adalah lebih kepada pengabdian kepada alam juga sebuah pencarian dalam menemukan esensi diri sendiri. El melalui Sekar, mengajarkan saya tentang itu.

“Sebab banyak orang berjalan, tapi tidak kemana-mana,” kata El.

Saya mengangguk setuju dengan ucapannya. Masih terus mendaki, saya menyimak setiap pengalaman El dan Sekar. Bagaimana awalnya Sekar yang sama sekali belum pernah melakukan pendakian nekat menyusul El ke Rinjani demi mencari pemuda itu. Bagaimana El membawa Sekar menaklukkan Merbabu hingga ke Mahameru, serta petualangan lain yang El bilang sebagai upaya untuk 'membebaskan dunia.'

Dengan diiringi lagu-lagu indie di setiap trek, melalui El dan Sekar, saya belajar bahwa pendakian tidak melulu soal puncak. Tapi lebih kepada proses mendaki itu sendiri.  

“Semakin sering naik turun gunung seorang pendaki, seharusnya berbanding lurus dengan meningkatnya kedekatannya pada Tuhannya. Tujuan seorang mendaki gunung memang bermacam-macam, tapi hakikat manusia adalah sama. Di alam, di mana tidak ada kekuatan harta, tahta dan tentara, Tuhan adalah ingatan pertama bagi manusia yang banyak dibuat lupa oleh kota.”

Setelah kurang lebih berjalan selama 1 jam, tibalah saya di shelter pos bayangan 1. Di pos ini, El dan Sekar mengajak saya beristirahat. Karena di dalam perjalanan, ada kalanya kita memerlukan jeda dan menikmatinya. Sebab, terlalu banyak keindahan yang terlewatkan dalam ketergesa-gesaan. El benar. Saya menghela napas. Bukan karena lelah, tapi karena kagum. Hamparan hijau yang ada di depan saya menyatu bersama hamparan biru yang dihiasi gulungan-gulungan awan putih. Dan di tengah hamparan yang luas itu, saya merasa begitu kecil.

Di shelter itu, El mengajak saya untuk menikmati secangkir kopi. Pemuda itu lantas mengeluarkan grinder dan kopi Toraja andalannya. Dengan beratap awan dan langit biru, satu sesapan kopi mampu menghangatkan tenggorokan saya. Percayalah, bahwa menyesap kopi di gunung berkali-kali jauh lebih nikmat dibanding menyesap kopi di kedai kopi terenak sekali pun. Saya menengadahkan kepala. Selepas ini, perjalanan saya akan semakin berat dan penuh dengan bebatuan. Tapi melalui semangat yang ditularkan ‘sepasang yang melawan’ ini, saya percaya bahwa tidak ada perjalanan yang berat. Yang membuatnya berat adalah karena kita tidak menikmatinya. Sebab, Tuhan pun mengerti. Bahwa tidak ada hal berat yang Tuhan berikan melebihi kemampuan umat-Nya, bukan?

Setelah menandaskan secangkir kopi sebagai persediaan energi dan memasukkan kembali logistik ke carrier, perjalanan yang sebenarnya pun dimulai setelah ini.

“Bicara puncak adalah bicara lebih dari sekedar ketinggian, keindahan dan pengakuan-pengakuan. Bicara puncak adalah bicara pemaknaan. Pergi, melangkah keluar melihat ke dalam, mengosongkan isi, mengisi kosong, mengetahui ketidaktahuan, mencari pencarian, pulang.”

Sayup-sayup, Sementara yang dinyanyikan syahdu oleh Cholil mulai mengalun lewat MP3 portable yang saya bawa. Lagu itu memiliki daya magis, menghipnotis. 

“Mereka yang mendapatkan makna, melihat lebih indah dari yang ditangkap indera dan berdiri lebih tinggi dari yang hanya ria pada penanda-penanda.”

Saya terus mengayunkan langkah hingga Sementara yang terputar berganti dengan Pulang, Float.

Saya tersenyum.

Bicara perjalanan adalah bicara tentang hal-hal yang yang lebih dari sekedar berjalan. Air, udara, gunung, pepohonan, binatang, awan, langit, betapa baiknya Tuhan menciptakan itu semua secara cuma-cuma. Debaran di dada saya kian meletup-letup. Melalui perjalanan dan pengalaman yang El ceritakan, saya belajar tentang proses. Tentang kepasrahan.

Kepasrahan yang akhirnya membuat rasa syukur saya bertambah berkali-kali lipat. Rasa syukur yang mengantarkan saya pada pencapaian yang sesungguhnya, sebagaimana apa yang pernah El katakan.
“Jika kau butuh lebih dari sekedar tafsiran dan kutipan pasaran tentang siapa itu Tuhan, teman dan diri sendiri. Pergilah mendaki gunung atau mengheninglah.”



Judul : Pejalan Anarki
Penulis : Jazuli Imam
Penerbit : Djeladjah Pustaka
Tebal : 400 hlm , 140 x 210 mm
Genre : Fiksi, Drama, Perjalanan
ISBN : 978-602-396-059-0



Jakarta, Februari 2018



Baca juga catatan perjalanan saya di sini.