Pada tanggal 18 Oktober 2018, bertempat di Jalan Pondok Labu
1 no. 8b, Marto- Rumah Seni dan Kopi telah menggelar pameran perdananya yang
bertajuk Parade Jakarta 2018. Pameran yang menghadirkan 32 perupa Indonesia ini
bisa dibilang sebagai acara reuni para seniman yang terlibat dalam pameran.
Seperti yang kita tahu bahwa galeri-galeri yang memiliki
konsep serupa lebih dulu hadir di Kemang. Maka, peresmian Galeri Marto ini
menghadirkan nuansa baru di pinggiran Jakarta yang minim art space. Hadirnya Galeri Marto ini menambah warna pada art space atau galeri-galeri serupa di
kawasan Jakarta. Menampilkan accoustic live
music, kesan hangat dan ramah tamah begitu terasa pada pembukaan pameran di
Galeri Marto ini. Hal ini memang sesuai konsep awal, bahwa pameran perdana ini
adalah semata-mata ajang berkumpulnya para seniman. Untuk itulah, karya yang
ditampilkan tidak memiliki tema tertentu, namun kebanyakan masih memiliki alur
yang sama yaitu abstrak. Dalam wawancara singkat yang saya lakukan, salah satu
perupa senior, Sony SK berkata, “Pameran ini karena masih launching, tidak ada tematik tertentu. Yang penting kita ngumpul
dulu, baru setelah ini kita adakan evaluasi mana yang kurang.” Dalam kesempatan
itu, Sony SK juga mengatakan bahwa dalam pameran-pameran semacam ini, visi dan misi
yang diusung harus jelas agar ke depannya pameran semacam ini dapat terus
berlangsung. Beliau juga mengatakan bahwa orang yang hidup dalam seni akan
memiliki jiwa yang kaya dan orang yang hidup tanpa seni, jiwanya akan kering.
Pembukaan Galeri Marto ini adalah salah satu upaya untuk
melestarikan kesenian, khususnya seni rupa. Selain perupa-perupa seperti Jerry
T, Ipong Purnama Sidhi, Nunung W.S dan sebagainya, turut hadir pula musisi
tanah air Dik Doank dan pengamat seni rupa Indonesia, Marwan Yusuf. Dalam
sambutannya, Marwan Yusuf sangat mengapresiasi adanya pameran-pameran semacam
ini.
![]() |
Gelora Batin, Acrilic on Canvas |
Galeri Marto sendiri merupakan sebuah bangunan berlantai dua
yang disulap menjadi galeri. Setelah berkeliling, ada beberapa lukisan yang
menarik hati saya. Salah satunya adalah lukisan yang berjudul Gelora Batin
karya Tri Sabariman. Lukisan ini dibuat tahun 2018 dengan menggunakan kanvas
dan cat akrilik sebagai medianya. Dengan gaya abstrak yang didominasi oleh
warna merah, Gelora Batin sendiri merupakan curahan hati pelukisnya. Karena
pada dasarnya, untuk mencurahkan dan menetralisir hati dan perasaan, kita
selalu membutuhkan media.
Dalam hal ini, alumnus Unindra Jakarta tersebut menggunakan
media lukis sebagai refleksi diri. Beliau menggunakan warna-warna dalam
memaknai perasaannya. Karena menurutnya, warna memiliki simbol-simbol atau
filsafat yang dapat mempengaruhi karya. Misalnya, warna merah yang melambangkan
ekspresi marah, berani, kuat dan sebagainya. Selain itu, dalam membuat sebuah
karya, seorang perupa biasanya memerlukan perenungan. Karena lukisan abstrak
memiliki kemewahan dan spesifikasinya sendiri. Berbeda dengan lukisan realis
dan naturalis yang memiliki interpretasi sama di depan pengamat, lukisan
abstrak justru memberikan kebebasan pada pengamat untuk melakukan interpretasi.
Maka dari itu, pengamat yang satu dengan
pengamat yang lain tidak jarang memiliki interpretasi yang berbeda dalam
memaknai lukisan abstrak. Untuk itulah diperlukan dialog. Dengan berdialog
dengan perupa, interpretasi antarpengamat bisa disamaratakan. Dalam menikmati
karya seni, khususnya lukisan abstrak, diperlukan pengalaman untuk
berinterpretasi dengan frekuensi yang tidak sedikit. Lukisan abstrak secara
tidak langsung akan melatih kemampuan sensorik dalam memaknai suatu karya.
Karena pada dasarnya, lukisan abstrak adalah sebuah karya seni yang hanya bisa
dinikmati dengan rasa, bukan logika.
Lukisan abstrak tidak semata-mata hanya soal artistik. Lebih
jauh, lukisan abstrak memiliki estetika. Seperti yang diungkapkan oleh Mas
Pandhik, “Estetika memiliki makna yang lebih dalam dari artistik. Tidak hanya
indah dilihat, lukisan merupakan sebuah media penyampaian pesan yang terdalam.”
Seperti yang kita tahu, seni rupa memiliki banyak cabang
antara lain seni murni, seni patung, seni kriya, desain grafis dan lain-lain.
Dalam penyampaian pesannya, masing-masing cabang seni tersebut memiliki
karakteristiknya sendiri-sendiri. Misalkan saja untuk desain komunikasi visual,
visualisasi seni yang dibuat selain untuk menyampaikan pesan juga harus
memiliki nilai komersial. Karena berbeda dengan seni murni yang merupakan
refleksi batin dari perupa untuk dirinya sendiri, desain komunikasi visual
merupakan seni yang dibuat sebagai media penyampaian pesan untuk banyak orang.
Mas Pandhik mengatakan bahwa melukis itu bebas. Menurutnya, melukis juga
memerlukan kontemplasi karena melukis butuh pemahaman objek. Baginya, bahasa
visual adalah bahasa rupa. Kita harus bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam diri,
bisa berupa intuisi, pikiran, rasa, dan lain-lain untuk kemudian disampaikan
kepada orang lain dalam wujud sebuah karya.
![]() |
Gandhi, Acrilic on Canvas |
Berbeda dengan Tri Sabariman yang mendapatkan ide melukis
dari kehidupan sehari-hari, seperti mood,
pikiran, pengamatan dan pengalaman, Mas Pandhik mendapatkan gairah melukis
justru setelah beliau belajar tentang falsafah hidup. Lukisan Mahatma Gandhi yang beliau buat
mencerminkan falsafah hidup si objek. “Jangan pernah berkarya hanya dengan
mengandalkan mood. Terkadang kita
butuh ‘memacari’ dan ‘bersetubuh’ dengan ide dan karya karena lukisan merupakan
kebutuhan batin. Lukisan merupakan bahasa hati. Mengerjakannya pun harus dengan
sungguh-sungguh, total dan fokus,” ujarnya.
Hal ini juga dibenarkan oleh perupa AR. Soedarto, “Jika kita
melukis dengan hati, karya tersebut akan abadi.” Menurutnya, hal paling susah
dari melukis adalah memvisualisasikan perasaan untuk menjadi sebuah karya. Hal
ini terbukti dalam karyanya yang berjudul Kembali
ke Fitri. Untuk menghasilkan lukisan tersebut, AR. Soedarto harus
mengendapkan karyanya terlebih dulu. Baru setelah tiba bulan puasa, beliau
kembali melanjutkan karyanya. Kembali ke
Fitri merepresentasikan tentang seorang muslim yang melakukan kewajiban
puasa untuk bisa kembali pada kemurnian dan kesucian. Untuk itulah, lukisan ini
dilatari oleh warna putih dengan berbagai macam garis beraneka warna yang
merupakan simbol dari ‘dosa’. Ide yang melatarbelakangi lukisan ini adalah untuk
kembali pada kemurnian, seseorang harus melewati proses yang tidak mudah. Dalam
lukisannya, AR. Soedarto selalu menggunakan cat berwarna emas. Menurutnya, emas
adalah simbol keagungan. Dalam lukisan Kembali
ke Fitri, warna emas merupakan representasi dari kembali kepada Sang Agung
(Tuhan) setelah melewati puasa yang digambarkan sebagai proses.
Bersama perupa AR. Soedarto |
Dalam perkembangannya, lukisan abstrak kurang mendapat minat
dibandingkan lukisan bergaya realis atau naturalis yang lebih dulu populer
lewat maestro lukis Indonesia, Raden Saleh. Di era digital seperti sekarang
ini, generasi muda lebih cenderung tertarik untuk menekuni lukisan-lukisan
digital seperti vektor, digital painting, dan sebagainya. Menurut Tri Sabariman, hal tersebut adalah hal
yang sah. Lukisan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Perupa zaman
dulu yang masih konsisten dengan manual
art adalah perupa yang menghargai proses. Seperti yang kita tahu bahwa
untuk menghasilkan sebuah lukisan di atas kanvas atau media-media lain tentu
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Tri Sabariman mengungkapkan bahwa
generasi muda cenderung tidak melihat proses. Sedangkan menurut Mas Pandhik,
penggunaan teknologi di era modern merupakan hal yang lumrah. Tergantung bagaimana
kita memanfaatkan teknologi tersebut. Selama pemanfaatan teknologi masih dalam
batas positif, misal untuk berkarya, beliau tidak mempermasalahkan hal
tersebut. Meski lukisan abstrak adalah lukisan yang bebas, namun segala sesuatu
harus bisa dipertanggungjawabkan. Untuk melestarikan kesenian ini, diperlukan
sebuah kebulatan tekad, konsekuensi dan tanggung jawab. Karena karya merupakan
perjalanan sejarah. Seperti apa yang AR. Soedarto katakan, “Kita harus membuat
sejarah. Sejarah untuk diri sendiri dan sejarah untuk negara.” Karena karya
merupakan sebuah perjalanan, sebuah proses. Dan di sini, ada aliran lukisan
yang harus dilestarikan. “Fokus dengan satu pilihan dan berjuanglah,”
tambahnya.
Jakarta, Oktober 2018