Selasa, 23 Oktober 2018


Pada tanggal 18 Oktober 2018, bertempat di Jalan Pondok Labu 1 no. 8b, Marto- Rumah Seni dan Kopi telah menggelar pameran perdananya yang bertajuk Parade Jakarta 2018. Pameran yang menghadirkan 32 perupa Indonesia ini bisa dibilang sebagai acara reuni para seniman yang terlibat dalam pameran.
Seperti yang kita tahu bahwa galeri-galeri yang memiliki konsep serupa lebih dulu hadir di Kemang. Maka, peresmian Galeri Marto ini menghadirkan nuansa baru di pinggiran Jakarta yang minim art space. Hadirnya Galeri Marto ini menambah warna pada art space atau galeri-galeri serupa di kawasan Jakarta. Menampilkan accoustic live music, kesan hangat dan ramah tamah begitu terasa pada pembukaan pameran di Galeri Marto ini. Hal ini memang sesuai konsep awal, bahwa pameran perdana ini adalah semata-mata ajang berkumpulnya para seniman. Untuk itulah, karya yang ditampilkan tidak memiliki tema tertentu, namun kebanyakan masih memiliki alur yang sama yaitu abstrak. Dalam wawancara singkat yang saya lakukan, salah satu perupa senior, Sony SK berkata, “Pameran ini karena masih launching, tidak ada tematik tertentu. Yang penting kita ngumpul dulu, baru setelah ini kita adakan evaluasi mana yang kurang.” Dalam kesempatan itu, Sony SK juga mengatakan bahwa dalam pameran-pameran semacam ini, visi dan misi yang diusung harus jelas agar ke depannya pameran semacam ini dapat terus berlangsung. Beliau juga mengatakan bahwa orang yang hidup dalam seni akan memiliki jiwa yang kaya dan orang yang hidup tanpa seni, jiwanya akan kering.
Pembukaan Galeri Marto ini adalah salah satu upaya untuk melestarikan kesenian, khususnya seni rupa. Selain perupa-perupa seperti Jerry T, Ipong Purnama Sidhi, Nunung W.S dan sebagainya, turut hadir pula musisi tanah air Dik Doank dan pengamat seni rupa Indonesia, Marwan Yusuf. Dalam sambutannya, Marwan Yusuf sangat mengapresiasi adanya pameran-pameran semacam ini.
Gelora Batin, Acrilic on Canvas
Galeri Marto sendiri merupakan sebuah bangunan berlantai dua yang disulap menjadi galeri. Setelah berkeliling, ada beberapa lukisan yang menarik hati saya. Salah satunya adalah lukisan yang berjudul Gelora Batin karya Tri Sabariman. Lukisan ini dibuat tahun 2018 dengan menggunakan kanvas dan cat akrilik sebagai medianya. Dengan gaya abstrak yang didominasi oleh warna merah, Gelora Batin sendiri merupakan curahan hati pelukisnya. Karena pada dasarnya, untuk mencurahkan dan menetralisir hati dan perasaan, kita selalu membutuhkan media.
Dalam hal ini, alumnus Unindra Jakarta tersebut menggunakan media lukis sebagai refleksi diri. Beliau menggunakan warna-warna dalam memaknai perasaannya. Karena menurutnya, warna memiliki simbol-simbol atau filsafat yang dapat mempengaruhi karya. Misalnya, warna merah yang melambangkan ekspresi marah, berani, kuat dan sebagainya. Selain itu, dalam membuat sebuah karya, seorang perupa biasanya memerlukan perenungan. Karena lukisan abstrak memiliki kemewahan dan spesifikasinya sendiri. Berbeda dengan lukisan realis dan naturalis yang memiliki interpretasi sama di depan pengamat, lukisan abstrak justru memberikan kebebasan pada pengamat untuk melakukan interpretasi.  Maka dari itu, pengamat yang satu dengan pengamat yang lain tidak jarang memiliki interpretasi yang berbeda dalam memaknai lukisan abstrak. Untuk itulah diperlukan dialog. Dengan berdialog dengan perupa, interpretasi antarpengamat bisa disamaratakan. Dalam menikmati karya seni, khususnya lukisan abstrak, diperlukan pengalaman untuk berinterpretasi dengan frekuensi yang tidak sedikit. Lukisan abstrak secara tidak langsung akan melatih kemampuan sensorik dalam memaknai suatu karya. Karena pada dasarnya, lukisan abstrak adalah sebuah karya seni yang hanya bisa dinikmati dengan rasa, bukan logika.
Lukisan abstrak tidak semata-mata hanya soal artistik. Lebih jauh, lukisan abstrak memiliki estetika. Seperti yang diungkapkan oleh Mas Pandhik, “Estetika memiliki makna yang lebih dalam dari artistik. Tidak hanya indah dilihat, lukisan merupakan sebuah media penyampaian pesan yang terdalam.”
Seperti yang kita tahu, seni rupa memiliki banyak cabang antara lain seni murni, seni patung, seni kriya, desain grafis dan lain-lain. Dalam penyampaian pesannya, masing-masing cabang seni tersebut memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri. Misalkan saja untuk desain komunikasi visual, visualisasi seni yang dibuat selain untuk menyampaikan pesan juga harus memiliki nilai komersial. Karena berbeda dengan seni murni yang merupakan refleksi batin dari perupa untuk dirinya sendiri, desain komunikasi visual merupakan seni yang dibuat sebagai media penyampaian pesan untuk banyak orang. Mas Pandhik mengatakan bahwa melukis itu bebas. Menurutnya, melukis juga memerlukan kontemplasi karena melukis butuh pemahaman objek. Baginya, bahasa visual adalah bahasa rupa. Kita harus bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam diri, bisa berupa intuisi, pikiran, rasa, dan lain-lain untuk kemudian disampaikan kepada orang lain dalam wujud sebuah karya.
Gandhi, Acrilic on Canvas
Berbeda dengan Tri Sabariman yang mendapatkan ide melukis dari kehidupan sehari-hari, seperti mood, pikiran, pengamatan dan pengalaman, Mas Pandhik mendapatkan gairah melukis justru setelah beliau belajar tentang falsafah hidup. Lukisan Mahatma Gandhi yang beliau buat mencerminkan falsafah hidup si objek. “Jangan pernah berkarya hanya dengan mengandalkan mood. Terkadang kita butuh ‘memacari’ dan ‘bersetubuh’ dengan ide dan karya karena lukisan merupakan kebutuhan batin. Lukisan merupakan bahasa hati. Mengerjakannya pun harus dengan sungguh-sungguh, total dan fokus,” ujarnya.
Hal ini juga dibenarkan oleh perupa AR. Soedarto, “Jika kita melukis dengan hati, karya tersebut akan abadi.” Menurutnya, hal paling susah dari melukis adalah memvisualisasikan perasaan untuk menjadi sebuah karya. Hal ini terbukti dalam karyanya yang berjudul Kembali ke Fitri. Untuk menghasilkan lukisan tersebut, AR. Soedarto harus mengendapkan karyanya terlebih dulu. Baru setelah tiba bulan puasa, beliau kembali melanjutkan karyanya. Kembali ke Fitri merepresentasikan tentang seorang muslim yang melakukan kewajiban puasa untuk bisa kembali pada kemurnian dan kesucian. Untuk itulah, lukisan ini dilatari oleh warna putih dengan berbagai macam garis beraneka warna yang merupakan simbol dari ‘dosa’. Ide yang melatarbelakangi lukisan ini adalah untuk kembali pada kemurnian, seseorang harus melewati proses yang tidak mudah. Dalam lukisannya, AR. Soedarto selalu menggunakan cat berwarna emas. Menurutnya, emas adalah simbol keagungan. Dalam lukisan Kembali ke Fitri, warna emas merupakan representasi dari kembali kepada Sang Agung (Tuhan) setelah melewati puasa yang digambarkan sebagai proses.
Bersama perupa AR. Soedarto
Dalam perkembangannya, lukisan abstrak kurang mendapat minat dibandingkan lukisan bergaya realis atau naturalis yang lebih dulu populer lewat maestro lukis Indonesia, Raden Saleh. Di era digital seperti sekarang ini, generasi muda lebih cenderung tertarik untuk menekuni lukisan-lukisan digital seperti vektor, digital painting, dan sebagainya.  Menurut Tri Sabariman, hal tersebut adalah hal yang sah. Lukisan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Perupa zaman dulu yang masih konsisten dengan manual art adalah perupa yang menghargai proses. Seperti yang kita tahu bahwa untuk menghasilkan sebuah lukisan di atas kanvas atau media-media lain tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Tri Sabariman mengungkapkan bahwa generasi muda cenderung tidak melihat proses. Sedangkan menurut Mas Pandhik, penggunaan teknologi di era modern merupakan hal yang lumrah. Tergantung bagaimana kita memanfaatkan teknologi tersebut. Selama pemanfaatan teknologi masih dalam batas positif, misal untuk berkarya, beliau tidak mempermasalahkan hal tersebut. Meski lukisan abstrak adalah lukisan yang bebas, namun segala sesuatu harus bisa dipertanggungjawabkan. Untuk melestarikan kesenian ini, diperlukan sebuah kebulatan tekad, konsekuensi dan tanggung jawab. Karena karya merupakan perjalanan sejarah. Seperti apa yang AR. Soedarto katakan, “Kita harus membuat sejarah. Sejarah untuk diri sendiri dan sejarah untuk negara.” Karena karya merupakan sebuah perjalanan, sebuah proses. Dan di sini, ada aliran lukisan yang harus dilestarikan. “Fokus dengan satu pilihan dan berjuanglah,” tambahnya. 

Jakarta, Oktober 2018

Sabtu, 29 September 2018


Fenomena instagram yang menjamur di kalangan generasi milenial menjadi salah satu faktor pendukung munculnya kedai-kedai kopi dengan konsep instagramable. Karena, selain menikmati secangkir kopi, tempat yang cozy ternyata juga mampu membuat pikiran rileks dan menurunkan tingkat stress seseorang.

Foto oleh @hanssmohammad
Berada di kawasan Condet, Jakarta Timur, kedai kopi ini bernama Let Coffee. Let Coffee menawarkan suasana minimalis yang dikonsep secara elegan dengan memadukan warna-warna pastel khas skandinavia sebagai warna yang dominan. Mulai tembok keramik berwarna putih yang berada di sebelah kiri pintu masuk, tembok putih yang dipadukan dengan kayu-kayu bermotif diagonal dan tembok berwarna biru abu-abu yang berada di sudut tangga. Tidak perlu menambahkan lukisan-lukisan berlebihan untuk menjadikan kedai ini dekoratif. Dominasi kayu pada lantai, kursi-kursi dan meja barista yang memiliki tone senada dengan lantai justru memberikan kesan minimalis pada kedai ini. Kursi-kursi kayu berkaki panjang ditempatkan mengelilingi meja barista serta menghadap dinding kaca dengan frame kotak-kotak berwarna hitam yang menjulang hingga ke atap, sedangkan kursi berkaki pendek ditempatkan pada sudut-sudut dinding sehingga memberikan kesan luas pada ruangan. Di sudut dinding juga terdapat rak kayu minimalis yang digunakan untuk meletakkan biji kopi dalam kemasan. Tak hanya itu, lampu-lampu gantung warm light membuat suasana kedai semakin terkesan homey tanpa meninggalkan kesan minimalis yang modern.

Foto oleh @hanssmohammad
Salah satu sudut yang saya sukai adalah sofa kayu berwarna biru abu-abu dengan meja kayu sejajar yang dihiasi oleh tanaman hias. Dari sudut ini, kita bisa melihat barista meracik kopi.

Meski berada di tengah jalan yang ramai dan macet, suasana berubah kedap suara begitu kita memasuki kedai. Yang terdengar hanyalah alunan musik-musik sendu dan dentingan gelas-gelas kopi yang menambah suasana kian sendu. Ruangan ini juga dilengkapi AC dan wifi gratis, sangat cocok untuk mereka yang menginginkan suasana tenang. Sangat cocok juga untuk membaca buku, mengerjakan tugas, mengobrol, hangout atau melepas penat seusai hari padat di tempat kerja.

Untuk Anda yang suka merokok, Let Coffee menyediakan smoking area yang berada di lantai dua. Smoking area ini memiliki jendela terbuka yang menghadap ke jalan raya. Sedangkan tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua menggunakan cat berwarna hitam dengan pegangan tangga berupa kayu-kayu berwarna coklat.

Let Coffee juga menyediakan toilet yang bersih dan parkiran yang luas.

Untuk menu makanannya, Let Coffee menyediakan aneka menu kopi, dari mulai single origin dengan manual brewing, esspresso, black coffee, latte dan aneka olahan kopi dalam bentuk dingin atau panas sebagai menu utama. Bagi Anda, yang tidak terlalu suka kopi, Let Coffee juga menyediakan aneka minuman seperti teh, chocolate, matcha latte atau iced blended. Dan untuk makanannya, tersedia juga berbagai macam menu seperti nasi goreng, spaghetti, makanan-makanan snack, roti panggang, bahkan dessert seperti ice cream dengan harga terjangkau.

Foto oleh @hanssmohammad
Saya menyukai matcha latte di tempat ini. Rasa matcha yang diolah begitu dominan dan tidak terlalu manis. Saya juga menyukai suasana santai yang ditawarkan Let Coffee.

Sesuai dengan namanya, Let Coffee mengajak kita untuk menikmati kopi. Karena hanya kopilah yang cocok dinikmati dalam suasana apapun, baik sedih atau senang.



Jakarta, September 2018


Minggu, 18 Maret 2018


Suatu ketika saya pernah berpikir, jika kelak saya mati, adakah seseorang yang menangisi saya? Atau bahkan mengenang saya?

Saya takut.

Bukan takut mati. Tapi takut jika ingatan orang-orang terdekat saya terhadap saya akan hilang. Jika selama hidup saya memiliki banyak teman, selalu ada dalam kondisi apapun saat mereka membutuhkan bantuan, tertawa, berkumpul, lalu setelah saya mati mereka mungkin akan lupa jika saya pernah berada di tengah-tengah mereka. Saya mati, mereka tetap saja tertawa. Bahkan, jika terlalu bahagia, terkadang mereka akan lupa jika saya pernah menjadi bagian yang sering mereka sebut teman. Kenyataannya, saya akan terlupakan.

Bukankah menjadi seseorang yang terlupakan itu sangat menyakitkan?

Dulu saya tidak pernah pandai bergaul. Masa kecil saya hanya sebatas buku-buku pelajaran, terkadang boneka-boneka atau mainan yang dipinjamkan ibu dari tempatnya mengajar. Jikapun ada teman, hanya beberapa yang benar-benar dekat dengan saya, selebihnya hanya dekat dengan tujuan tertentu, nilai.

Sabtu, 17 Maret 2018


Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk bisa ‘menemukan’, salah satunya dengan melakukan kegilaan. Sebagaimana Sekar yang nekat ke Papua untuk menemui El, atau El yang melakukan banyak perjalanan untuk mencari esensi dari kata ‘menemukan’ itu sendiri.
Omong-omong soal kegilaan, ada kalanya dalam hidup kita melakukan sekali atau dua kali kegilaan agar hidup tidak berjalan stagnan. Lantas tanpa rencana, malam itu saya melakukannya lagi. Kegilaan kali keempat yang saya ingat.
Dari Depok, saya berencana pergi ke Tambun dengan commuter line. Saya ingin mengunjungi Gedung Juang yang tidak jauh dari stasiun karena menikmati arsitektur-arsitektur tua adalah kesenangan saya yang lain. Pukul 18.00 kereta sampai di Manggarai. Jika tidak punya keperluan mendesak, pergi ke Bekasi di jam-jam ‘rawan’ adalah sebuah kebodohan. Karena seperti dugaan saya, antrean manusia di jalur Bekasi sudah seperti ikan asin yang siap untuk digoreng. Saya menghela napas. Tidak mau mengambil resiko, saya memutuskan ke Stasiun Jakarta Kota dengan harapan kereta ke Bekasi akan sepi. Sepanjang perjalanan ke Jakarta Kota, semburat merah senja menciptakan siluet-siluet gedung pencakar langit. Yang saya tahu, orang-orang Jakarta selalu melupakan senja. Di jam-jam saat jalanan mendadak penuh dan macet atau saat orang-orang berlarian mengejar kereta dan berdesak-desakan di dalam angkutan-angkutan umum, sudah pasti itu adalah saat senja. Maka, semburat merah yang saya lihat itu adalah kesepian. Sangat sedikit orang Jakarta yang mengabadikan senja dan cenderung lupa bahwa Tuhan menciptakan semburat jingga yang luar biasa indah di penghabisan siang, setiap harinya. Beberapa orang Jakarta justru sibuk  mengabadikan antrean-antrean di jalur kereta yang seperti ikan asin itu, memikirkan menu makanan paling enak untuk mengenyangkan perut yang keroncongan dan mereka melupakan senja.
Menuju Isya, kereta saya sampai di Jakarta Kota. Turun dari kereta, saya memutuskan untuk duduk sebentar menikmati rumput laut kering. Kereta yang tadi saya naiki, kembali melanjutkan perjalanan ke Bekasi. Tidak lama berselang, kereta Bekasi yang selanjutnya datang. Dugaan saya tepat. Jurusan Bekasi tidak terlalu ramai dari Jakarta Kota sehingga saya mendapat tempat duduk di dekat pintu. Malam merangkak naik,  kereta mengalami delay cukup lama di sepanjang jalur menuju Manggarai yang membuat rencana saya ke Tambun sudah bukan menjadi prioritas saya saat saya melihat jam di layar handphone. Menuju Manggarai, penumpang kembali berdesak-desakan. Kereta melaju seperti biasa ke Bekasi, mengantarkan pekerja-pekerja yang lebih suka berlarian ketika kereta mulai memasuki peron.
Saya memutuskan untuk ikut kereta ke Bekasi. Dan sesampainya kereta di Bekasi, saya tidak mengikuti penumpang-penumpang lain untuk turun. Saya masih di tempat duduk yang sama, memutuskan untuk kembali mengikuti kereta ke Jakarta Kota.
Stasiun yang terdekat dari kost saya adalah Stasiun Duren Kalibata. Untuk sampai di Kalibata, saya bisa saja transit di Manggarai dan mengambil kereta jurusan Bogor. Lebih cepat dan menghemat waktu. Tapi saya memilih rute terjauh. Saya turun di Jatinegara. Dari Jatinegara, saya mengambil kereta jurusan Bogor yang memakan waktu karena harus melewati Pasar Senen dan Tanah Abang sebelum sampai ke Kalibata.
Sepanjang perjalanan dari Depok – Manggarai - Jakarta Kota – Bekasi – Jatinegara – Kalibata, saya habiskan dengan membaca buku.
Sekedar ingin mengusir kebosanan atau menciptakan lelah atau sekedar hanya ingin melihat lalu lalang orang, tidak jarang saya melakukan perjalanan kereta tanpa tujuan. Kali pertama saya pernah melakukan perjalanan ke Surabaya, dua hari, dengan kereta. Saat itu, kereta Gayabaru jurusan Surabaya Gubeng masih berangkat dari Stasiun Jakarta Kota. Jadual keberangkatan kereta tercetak pukul 11.30 di tiket. Dengan menggunakan busway, saya berangkat dari kost di kawasan Kemang. Jalanan di Jakarta memang susah diprediksi. Jelang 10 menit keberangkatan kereta, saya masih terjebak di halte Harmoni. Kepanikan dan suhu pendingin di busway membuat telapak tangan saya basah. Suara detak jantung menyamarkan suara klakson-klakson kendaraan di jalanan raya, kala itu.
Tiga menit menuju keberangkatan, saya sampai di halte Jakarta Kota. Tanpa pikir panjang, saya langsung mempercepat langkah, menyusuri tangga dan lorong-lorong menuju stasiun. Sesampainya di stasiun, kereta sudah bergerak. Tanpa memedulikan speaker dan tanpa melakukan checking tiket, saya langsung berlari memasuki gate. Dua orang polsuska yang saat itu tengah berdiri di pintu gerbong paling belakang melihat saya. Dengan baik hati, mereka menunda pintu tertutup. Lalu dengan perkataan yang masih lekat dalam ingatan saya, mereka menyuruh saya menaiki gerbong mana saja. Viola! Separuh jantung saya mencelos. Saya berhasil naik.
Setelah berhasil mengatur ritme napas, saya mencari gerbong di mana saya akan duduk. 19 E, gerbong 2, saya berhasil menemukannya. Tempat duduk itulah yang membuat saya bertemu lelaki eksentrik yang gemar bercerita tentang gunung.
Kereta mengalami keterlambatan. 30 menit berlalu dari jadual kedatangan, saya tiba di Surabaya pukul 02.30 dini hari. Saat itu langit Surabaya gelap meski ada secercah merah hasil radiasi lampu-lampu kota. Dengan sepeda motor, saya pergi ke kawasan Kureksari, Waru, Sidoarjo. Di kamar indekos saudara saya yang notabene sudah berkeluarga itulah saya ‘numpang tidur’ yang tidak benar-benar tidur. Karena pukul 09.00 selepas sarapan sederhana, saya bertolak kembali ke Jakarta, dengan menaiki kereta yang sama.
Barangkali banyak alasan kenapa kita melakukan kegilaan dan melakukan hal-hal di luar nalar. Salah satunya mungkin karena hati yang teramat jatuh. Pengalaman itulah yang membuat saya melakukan perjalanan kereta tanpa tujuan. Pernah suatu ketika, dari Stasiun Pasar Minggu, commuter line di jam-jam padat mengantarkan saya ke Stasiun Bogor. Matahari sudah tenggelam sempurna ketika saya sampai di Bogor, seorang diri. Tidak tahu harus kemana dan harus berbuat apa, akhirnya saya membeli seplastik tahu yang biasa dijajakan di pinggiran stasiun. Saya berjalan dengan suasana asing. Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Angkot-angkot berklakson dengan tujuan menarik penumpang. Pedagang-pedagang tidak berhenti menawarkan dagangan. Suasana semacam itu lekat dalam ingatan saya. Akhirnya, di depan Taman Kopi yang ramai dengan pengamen dan pedagang, saya menghabiskan potongan demi potongan tahu yang saya beli. Rasa pedas cabai membuat air mata saya meleleh yang segera saya netralkan dengan sebotol air mineral yang saya bawa.
Setelah tahu habis, saya memutuskan untuk kembali. Tiket tujuan Stasiun Jakarta Kota sudah ada di tangan. Berbeda dengan keberangkatan yang penuh sesak, kali ini suasanya lumayan lengang. Saya mendapat tempat duduk di samping seorang bapak-bapak. Lalu, tanpa lama menunggu, kereta membawa saya ke Stasiun Jakarta Kota. Saya sengaja mengulur waktu untuk tiba di kost dengan tidak mengambil tujuan ke Pasar Minggu. Saya mengikuti kereta hingga sampai di tujuan terakhir, Jakarta Kota. Dari Jakarta Kota, saya memilih untuk naik busway ke Blok M. Usaha saya untuk mengulur waktu berhasil. Kemacetan di jalan membuat busway sedikit tersendat. Pukul 22.30 saya tiba di Blok M, selanjutnya saya memilih untuk berjalan kaki ke kost yang berada di Kemang. 30 menit berjalan kaki, membuat saya lelah dan jatuh tertidur.
Orang waras mana yang akan melakukan hal semacam itu?
Hal lain yang pernah saya lakukan adalah saya pergi ke Parung Panjang dengan commuter line. Lagi-lagi tanpa tujuan. Saya sempat salah membeli tiket tujuan. Tiket yang saya maksud adalah Serpong, tapi petugas ticketing menganggap saya akan pergi ke Tangerang. Berangkat dari Kebayoran Lama, saya menuju Tanah Abang. Dari Tanah Abang, saya menyadari kesalahan itu. Akhirnya, dengan bantuan satpam, saya bisa mengganti tiket harian tujuan ke Parung Panjang dengan konsekuensi tiket harian saya ke Tangerang hangus.
Dari Tanah Abang, saya tiba di Parung Panjang lepas Magrib. Tidak seperti dugaan saya, Stasiun Parung Panjang ternyata terletak tak jauh dari pasar dan berada di kawasan pedesaan. Saat malam, pasar dan stasiun sudah lumayan sepi. Merasa salah jurusan dan tidak tahu harus kemana, akhirnya saya memutuskan untuk berjalan melewati pasar dan sampailah saya di jalan raya yang sempit tapi ramai oleh container-container dan truk-truk besar. Saya memutuskan untuk singgah di sebuah warung nasi goreng, memesan satu porsi nasi goreng sembari mengamati kondisi jalanan bergelombang yang dilalui truk-truk besar itu. Langit yang tadi masih menyisakan garis-garis merah berubah menjadi gelap. Setelah menghabiskan seporsi nasi goreng di piring, saya memutuskan pulang.
Kegilaan-kegilaan itu seolah menjadi candu saat saya sedang dalam suasana yang tidak stabil.
Teman-teman saya menganggap saya gila dan kurang kerjaan. Saya mengakuinya dan sama sekali tidak menyesalinya.
Di dalam kegilaan-kegilaan yang pernah saya lakukan, saya menemukan kesepian dan berusaha menyelaminya. Di dalam ranah pertemanan pun pergaulan saya, sangat sedikit orang yang selaras dengan saya. Mereka, orang-orang kanan yang terlahir konvensional itu terlalu takut pada segala sesuatu. Terkekang. Tidak bebas. Menjadi robot. Dan itu mengerikan.
Saya memilih untuk menjadi orang nekat, meski tidak jarang nekat yang saya lakukan justru menjadi bumerang bagi saya. Tapi setidaknya, dengan melakukan kegilaan, saya berhasil keluar dari zona nyaman saya. Saya yang sedari kecil tidak berani kemana-mana tanpa ibu, ternyata bisa melakukan perjalanan di tempat yang bahkan belum pernah saya kunjungi, seorang diri. Orang cenderung berani jika sudah terdesak dan tidak memiliki pilihan. Yang saya lakukan adalah semata-mata ingin menumbuhkan keberanian itu. Sebab keberanian bukanlah sebuah talenta. Keberanian adalah sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang harus kita perjuangkan.[1]
Saya pernah takut pada kesepian. Di dalam kesepian, suara-suara lain seolah muncul sebagai doktrin yang tidak jarang menguasai diri saya. Untuk itulah saya lari, berusaha agar terhindar dari kesepian itu. Dan barangkali ketakutan itulah yang membuat saya melakukan kegilaan semacam itu.
Meski mengaku menikmati kesepian, pada dasarnya orang-orang terlalu takut pada kesepian. Dan lupa, membiarkan diri menjadi orang lain adalah harga yang terlalu mahal untuk hanya mendapatkan perhatian.[2]
Denganmu, tenang...
Tak terpikir dunia ini.
Karenamu, tenang...
Semua khayal seakan kenyataan.
Dalam commuter line jurusan Bogor, hujan meretih membasahi jendela. Suara Ari Lesmana mengalun sendu melalui sepasang earphone yang tersemat di telinga saya, mengingatkan saya pada lelaki itu; El.
Semenjak terakhir kali bertemu dengannya beberapa tahun silam, tiba-tiba saya mengingatnya kembali. El yang frontal dan dinamis, yang suka melakukan kegilaan-kegilaan dan petualangan-petualangan itu telah lama hilang.
El tanpa saya duga ternyata mengajari saya banyak hal. Tentang aroma kopi di pagi hari, tentang pedesaan, tentang musik-musik indie, tentang buku-buku, tentang pengalaman-pengalaman yang tidak pernah tandas untuk diceritakan, tentang keberanian, dan juga tentang cinta.
El yang membuat keberanian saya menulis timbul kembali. Sebab, apa yang dikatakan Pramodya Ananta Toer benar. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. El melakukannya. Dia menulis pengalamannya, hal yang sama juga dilakukan Sekar hingga  Sekar dan semua teman-teman di Djeladjah memutuskan untuk membuat sebuah penerbitan.
El juga mengajari saya, bahwa menjadi kiri dan idealis tidak selamanya buruk. Berbeda justru menunjukkan kualitas kita, berbeda menjadikan kita otentik, tidak mainstream, unik. Sebagaimana yang pernah dikatakan Hemingway; Dunia menghancurkan semua orang, dan setelahnya, sebagian masih berdiri tegar di tempat-tempat yang luluh lantak.
Aku berbeda...
Aku berbeda...
Menjadi kiri adalah berusaha membatasi diri. Bukan karena egois, tapi karena selektif. El melakukan apa yang menurutnya benar. Dia melawan yang tidak seharusnya benar dan mempertahankan yang seharusnya benar, meski akhirnya dia menyerah. Bukan karena kalah, tapi sebaliknya. El membuktikan bahwa pada dasarnya orang yang selaras akan selalu tinggal. Dan yang tidak selaras sudah pasti akan pergi. Hanya saja kita tidak pernah tahu bagaimana cara yang tepat untuk merelakan. Sebagaimana yang ditunjukkan El dan Sekar, mereka selaras dan selalu menemukan.
Di tengah kericuhan yang terjadi, dia ada dan menjadi.
El adalah cerminan dari jiwa-jiwa merdeka, yang tidak tunduk pada apapun, selain Tuhan.
Melalui kegilaan-kegilaan, saya berusaha menemukan, belajar untuk menjadi merdeka. Menghargai apa yang jiwa saya yakini. Tapi satu hal yang saya tahu, pertemanan, patah hati, perjalanan atau bahkan petualangan, semua memiliki hakikat yang sama. Bahwa puncak yang sejati adalah pulang.[3]



Jakarta, Maret 2018



Gambar pinjam di sini

Judul : Jalan Pulang
Penulis : Jazuli Imam
Penerbit : Djeladjah Pustaka
Tebal : 300 hlm, 140 x 210 mm
Genre : Fiksi, Drama, Perjalanan
ISBN : 978-602-336-465-7




[1] Hal 199
[2] Hal 271
[3] Hal 135

Senin, 12 Maret 2018

Tiba-tiba saja aku mengingat perjalananku.
Perjalanan ke Cibodas yang dilakukan malam hari selepas Isya dari Terminal Kampung Rambutan yang pengap. Polusi asap kendaraan berbaur dengan asap rokok dan keringat orang-orang yang belum memiliki niatan untuk pulang. Barangkali itu karena sebuah kebutuhan atau tuntutan untuk mencari beberapa rupiah demi sesuap nasi untuk esok hari. Kehidupan di Jakarta memang keras seperti apa yang dikatakan bapak ketika aku berniat ingin menghabiskan separuh usiaku di kota itu.
Berbeda dengan suasana di kampung halaman yang sejuk dengan suara-suara serangga musim panas serta langit yang penuh dengan bintang, tempatku berpijak sekarang justru penuh dengan suara-suara klakson kendaraan. Umpatan dari sopir-sopir angkot, percakapan tukang buah dan pedagang lain atau suara kondektur bus yang berusaha mencari penumpang. Ke Garut, Tasikmalaya, Kuningan ataupun destinasi lain yang belum pernah kukunjungi.
Saat itu bulan Juli penghabisan. Tahun kemarin hujan turun deras hingga membuat luapan air dari selokan-selokan naik dan menyebabkan jalan tergenang. Bulan Juli dan Agustus memang bulan yang baik untuk naik gunung. Terlebih jika cuacanya sedang cerah, seperti Juli tahun ini.
Aku pergi bersama dua orang temanku. Teman kampus. Keduanya berbadan kurus dengan rambut gondrong sebatas bahu. Kebanyakan anak design atau anak seni memang memilih untuk memanjangkan rambutnya. Mereka cenderung tidak mau terikat dengan aturan-aturan membosankan dan memilih hidup bebas dengan mengapresiasi apapun.

Jumat, 09 Maret 2018

Orang yang suka mendaki adalah mereka yang sudah berdamai dengan kesepiannya sendiri-sendiri.
Malam itu di pasar Cibitung yang pengap, truk sayur yang akan membawa saya serta ketiga teman saya, terparkir. Selepas semester berat yang sudah kami jalani dan sebagai pembuka datangnya libur semester ini, kami berencana mengadakan sebuah perayaan kecil. Rencana mendaki gunung seolah merupakan agenda rutin yang harus dilaksanakan selepas ujian semester. Maka, di Stasiun Cibitung itulah kami bertemu. Dengan sebatang rokok yang tersemat di sela-sela jari, kedua teman saya sudah menunggu lebih dulu. Mereka telah siap dengan carriernya. Dan perjalanan ini adalah kali pertama saya naik truk ke Garut. Yang selanjutnya akan membawa kami ke basecamp Tapak Geurot di daerah Cigedug.

Dari Cibitung, truk berangkat pukul dua pagi. Saat malam tiba, banyak truk sayur yang memang menjadi alternatif transportasi para pendaki untuk sampai ke Garut. Truk yang membawa saya hanya berisi delapan orang penumpang. Tiga pendaki Guntur, satu warga Garut, tiga teman saya dan saya sendiri. Langit berwarna biru pekat dengan sedikit pantulan sinar bulan yang menyatu dengan lampu-lampu jalan. Di dalam bak, angin yang berhembus kencang memaksa saya merapatkan jaket. Saya memandangi langit dengan bulannya yang seolah-olah mengikuti laju kendaraan. Pohon-pohon yang terkadang memayungi langit, plang-plang penunjuk jalan, lampu-lampu jalan yang masih saja temaram, semua terasa dekat di atas kepala saya. Beratapkan langit, saya terlelap dengan pikiran-pikiran yang berkonotasi seolah mencari definisi makna yang saya rangkai sendiri.

Rabu, 07 Maret 2018

Hari ini aku sengaja pulang lima belas menit lebih awal dari biasanya. Bukan tanpa alasan, melainkan karena aku tidak mau kehilangan matahari pukul lima empat lima yang menggantung di langit-langit Jakarta.
Aku lupa sudah berapa lama aku tenggelam dalam rutinitas kerja yang itu-itu saja, hingga tak pernah lagi mengabadikan momen-momen berharga seperti saat ini.
Aku memilih sebuah kedai kopi tak jauh dari Stasiun Sudirman yang padat dan sengaja memilih kursi yang sama sebagaimana aku selalu berkunjung ke tempat itu. Sebuah kursi kayu berwarna coklat yang tepat berada di dekat jendela. Menghadap senja. Laptop di depanku menyala, menampilkan kursor yang berkedip-kedip di halaman Microsoft Word yang masih bersih. Di samping laptop itu, secangkir kopi masih menguarkan aroma dan uap panas. Aku sudah memesannya dua kali. Kopi pertama sudah tandas sepuluh menit yang lalu, sementara belum ada satu huruf pun yang bisa aku rangkai.
Jarum jam di tanganku hampir merangkak pada angka lima empat lima. Matahari mulai condong, membiaskan cahaya kemerahan yang memantul lewat jendela. Cahaya itu tepat mengenai cangkir kopiku. Cahaya yang suram. Terlihat lebih pucat atau hanya perasaanku saja?