Suatu ketika saya pernah berpikir, jika kelak saya mati, adakah seseorang yang menangisi saya? Atau bahkan mengenang saya?

Saya takut.

Bukan takut mati. Tapi takut jika ingatan orang-orang terdekat saya terhadap saya akan hilang. Jika selama hidup saya memiliki banyak teman, selalu ada dalam kondisi apapun saat mereka membutuhkan bantuan, tertawa, berkumpul, lalu setelah saya mati mereka mungkin akan lupa jika saya pernah berada di tengah-tengah mereka. Saya mati, mereka tetap saja tertawa. Bahkan, jika terlalu bahagia, terkadang mereka akan lupa jika saya pernah menjadi bagian yang sering mereka sebut teman. Kenyataannya, saya akan terlupakan.

Bukankah menjadi seseorang yang terlupakan itu sangat menyakitkan?

Dulu saya tidak pernah pandai bergaul. Masa kecil saya hanya sebatas buku-buku pelajaran, terkadang boneka-boneka atau mainan yang dipinjamkan ibu dari tempatnya mengajar. Jikapun ada teman, hanya beberapa yang benar-benar dekat dengan saya, selebihnya hanya dekat dengan tujuan tertentu, nilai.


Semasa sekolah menengah pertama, saya baru merasakan benar-benar punya teman dekat. Dan kedekatan kami terjalin justru saat sekolah hampir berakhir. Saya memanggilnya Je. Je dan saya sama-sama suka menulis, kebiasaan itu membuat kami sering bertukar cerita yang kami buat, atau Je yang sering meminjami saya komik Nakayoshi, setelahnya saya akan memberikan gambar karakter di Nakayoshi yang dia suka. Gambar yang saya buat dengan tangan saya sendiri. Dan Je menyukainya.

Saat sekolah menengah atas, saya dan Je berpisah. Karena financial, saya melanjutkan ke sekolah menengah atas yang tidak jauh dari rumah dan harus mengubur mimpi bersekolah di jurusan teknik sipil. Sementara, Je memilih melanjutkan sekolahnya ke kota. Dia adalah gadis pintar yang memiliki banyak mimpi. Perbedaan sekolah membuat hubungan kami tidak putus. Je dan saya masih sering berhubungan melalui surat. Di suratnya, saya jadi tahu kegiatan teman saya itu. Sekolahnya berstandart internasional dan dia mengikuti banyak kegiatan ekstrakurikuler. Dia menceritakan kegiatannya di merpati putih. Dia juga mengajari saya Bahasa Jepang, mulai dari mengirimi saya huruf hiragana dan katakana untuk dihapalkan. Dan melalui suratnya, saya tahu jika belakangan Je mengalami depresi.

Tahun kedua di sekolah menengah atas, kami sama-sama mengalami masa-masa sulit. Je depresi dan nyaris menjadi psikopat. Lingkungan sekolahnya yang cenderung ‘berat sebelah’ menjadi pemicu utama masalah depresinya. Teman saya itu jadi suka melukai dirinya sendiri dengan benda-benda tajam hingga akhirnya dia memutuskan memangkas habis rambut panjangnya. Hal yang sama terjadi pada saya. Ibu saya meninggal saat saya berada di tahun kedua sekolah menengah atas. Kehilangan seseorang yang berarti di hidup, menjadikan hidup saya seolah runtuh. Nilai pelajaran saya anjlok, organisasi yang saya pegang berantakan hingga kepercayaan guru terhadap saya seketika hancur. Mimpi, saat itu bagi saya hanya sebuah lembaran abu-abu. Sama seperti Je, saya memangkas habis rambut saya kala itu. Dan karena hanya menyisakan satu senti dari kulit kepala, ayah saya menyangka saya terkena pengaruh obat-obatan terlarang.

But, time is running out.

Dalam kondisi terpuruk pun, Je tetap ada.

Melalui surat yang tidak berhenti dia kirimkan, dia berulangkali menguatkan saya. Dia yang meyakinkan saya untuk tetap melangkah dan percaya terhadap takdir yang Tuhan berikan meski mimpi untuk bersekolah di jenjang yang lebih tinggi harus pupus.

Bahkan di masa-masa sulit, Je­­­­­­­ tidak pernah berhenti untuk terus menulis. Dia pernah bermimpi untuk menjadi penulis. Dan perjuangannya membuahkan hasil. Novelya berhasil menjadi juara ketiga kompetisi nasional, yang kemudian membuatnya menjadi penulis muda produktif hingga sekarang.
Berbeda dengan Je, saya memutuskan untuk mengadu nasib di kota besar. Sesekali menulis, tapi tulisan saya hanya berakhir pada draft-draft yang tidak selesai.

Saya diterima di sebuah perusahaan retail pada awal-awal kedatangan saya di kota ini. Di kota besar, saya hidup seorang diri. Tahun demi tahun saya lalui tanpa ada hal yang berarti. Hidup saya stagnan. Hari demi hari saya habiskan dengan bekerja, sehingga intensitas menulis mulai jarang saya lakukan. Karena kesibukan itu, saya vakum menulis.

Pepatah pernah bilang, jika kita memiliki kemauan, pasti akan ada jalan jika kita mau berusaha.

Saya ingat mimpi saya untuk kuliah. Keinginan yang lama terpendam itu akhirnya muncul kembali setelah saya mengalami hal buruk. Saya patah. Patah yang membuat saya melupakan segalanya, termasuk hidup saya sendiri. Saya terseok-seok, berusaha bangkit meski sulit. Mencoba tetap berjalan meski sempoyongan. Tapi di tengah keterpurukan itu, Tuhan tidak mau melihat saya terus menerus terluka.  Di tengah keterpurukan itu, tes promosi jabatan yang saya lakukan tanpa niat beberapa bulan yang lalu justru meluluskan nama saya. Sementara itu, di waktu yang sama teman kerja saya mengajak saya kuliah. Saya menyanggupi dengan malas karena saat itu keinginan saya untuk kuliah tidak seantusias dulu. Meski malas, saya tetap mengambil cuti tiga hari untuk pulang dan mengurus surat-surat untuk melamar ke universitas. Awalnya, saya melakukannya tanpa rencana. Sesampainya di rumah, keinginan untuk kuliah tidak langsung mendapat persetujuan dari nenek saya. Tapi, melihat usaha saya, nenek saya berubah pikiran.

Jika dipikir-pikir, hidup saya penuh kenekatan dan tanpa rencana. Saya memilih untuk menjadi manusia yang unpredictable, spontan. Terlalu banyak menggantungkan harapan, membuat saya seringkali jatuh. Tapi Tuhan selalu memiliki rencana lain yang menjadi rahasia-Nya, karena itulah harapan tak selalu berakhir dengan apa yang kita inginkan.

Sebelum mendaftar kuliah, saya sempat melakukan taruhan dengan diri saya sendiri. Jika memang kenyataannya promosi harus mewajibkan saya keluar pulau, maka saya harus mengorbankan kuliah. Tapi, jika dalam tes ujian masuk saya dinyatakan gagal, maka saya harus fokus dengan karier saya.

Selanjutnya, saya nekat mendaftar kuliah setelah semua berkas-berkas ada di tangan saya.

Tes ujian masuk berhasil saya lalui. Setelah melalui proses kurang lebih dua bulan, saya akhirnya resmi menjadi mahasiswa.

Tahun pertama kuliah, saya menjadi manusia ‘anti sosial’. Saya membatasi pergaulan, karena kebanyakan teman sekelas saya adalah mahasiswa-mahasiwa yang baru menanggalkan seragam putih abu-abu. Anak perempuan di kelas saya menilai saya jutek dan seram karena saya membatasi interaksi. Kebanyakan teman di kelas saya menganggap saya introvert dan tidak mau bergaul. Alhasil, saya hanya memiliki satu dua orang teman.

Bulan demi bulan berlalu. Melalui tugas-tugas gambar, teman-teman di kelas mulai mengetahui kemampuan gambar saya, meskipun tidak bagus-bagus amat. Nilai-nilai saya di tahun pertama kuliah terbilang lumayan. Satu persatu teman mulai menyapa saya, akhirnya seiring berjalannya waktu saya mulai bisa membuka diri. Saya mulai memiliki banyak teman, dari semua golongan. Beda kelas, senior ataupun beda fakultas.

Hampir sekelas tahu jika saya memiliki umur lebih tua. Hal ini membuat saya seolah dituakan. Anak-anak perempuan canggung dan beberapa teman lelaki memilih untuk menjaga jarak. Tahun kedua kuliah, saya sudah merasa aneh dengan lingkungan kelas. Sebagaimana anak sekolah, teman-teman saya cenderung menganggap nilai sebagai sebuah patokan. Sedangkan saya menganggap, nilai hanyalah syarat, angka hanyalah ukuran standart dan selera dosen. Tidak jarang dosen memberikan nilai jelek pada mahasiswanya hanya karena suka atau tidak suka. Dan sering pula dosen memberikan nilai bagus karena suka atau tidak suka. Kuliah adalah bukan perkara mengumpulkan nilai terbagus sebagaimana sekolah dasar karena sejatinya soal-soal ujian pun bisa dicari di mesin pencarian google. Tapi lebih dari itu. Kuliah adalah pemahaman. Bagaimana kita bisa mencari ilmu yang bisa digunakan untuk bekal masa depan. Kuliah adalah lebih belajar tentang atitude, penerapan disiplin ilmu dan pematangan skill. Maka, saya kurang setuju jika patokan sebuah curiculum vitae hanya memacu pada diploma atau bachelor degree, terlebih pada good looking seseorang dengan mengesampingkan skill dan portofolio yang dia punya.

Barangkali itulah yang membuat negara ini tertinggal.

Manusia berkualitas yang tidak good looking dan tidak memiliki ijasah tidak dianggap di negara ini, padahal di undang-undang secara tegas menyebutkan bahwa warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pekerjaan serta pengidupan yang layak. Tapi, melihat fenomena ini, undang-undang bisa saja berubah fungsi. Yang berhak mendapat pendidikan adalah orang-orang kaya sementara yang berhak mendapat pekerjaan yang layak adalah orang good looking dan orang yang memiliki degree plus orang yang memiliki uang melimpah.

Apa kabar, manusia kreatif namun tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam bangku kuliah? Apa kabar, manusia yang memiliki niat belajar tapi tidak punya biaya untuk mengenyam pendidikan? Apa kabar, manusia berkualitas yang tidak good looking?

Negara barangkali terlalu kejam. Padahal Tuhan menciptakan manusia dengan derajat yang sama dan memiliki hak yang sama.

Kereta yang saya tumpangi mengalami delay saat akan memasuki Stasiun Jayakarta. Di depan saya, manusia-manusia yang memakai gantungan pengenal sibuk dengan smartphone. Tiba-tiba saya mengingat Je. Je sama sekali tidak pernah mempunyai pengalaman untuk kerja di instansi manapun. Dia memilih untuk menjadi seorang freelancer dengan menjadi penulis dan penerjemah buku. Tidak jarang, bukunya terbit di Malaysia. Tidak jarang pula, dia terlibat proyek dengan negara tersebut. Karena menurutnya, negara itu lebih menghargai kualitas dan kerja keras. Melalui Je, saya jadi sedikit tahu tentang jatuh bangun menjadi penulis. Bagaimana kejamnya penerbit di Indonesia yang sudah dimotori oleh kapitalis.

Tahun ketiga perkuliahan, saya melepas pekerjaan saya. Promosi jabatan yang meluluskan nama saya membuat saya harus berpindah cabang. Perekonomian negara sedang tidak bagus. Banyak perusahaan yang melakukan pengurangan karyawan untuk meminimalisir budget, tak terkecuali perusahaan saya. Minimnya tenaga kerja membuat saya harus melakukan double atau bahkan triple job diluar job desk saya. Kesibukan kuliah dan pekerjaan membuat saya sakit dan tidak fokus. Lalu, dengan melalui banyak pertimbangan, saya melepas pekerjaan saya.

Dengan masih berusaha berdiri di atas kaki sendiri, saya memutuskan untuk tetap melanjutkan kuliah, mengingat kuliah adalah salah satu bagian dari mimpi saya. Mengenal banyak orang di kampus tidak memberikan dampak apa-apa bagi saya, selain membuat saya lebih banyak mendapat sapaan. Suasana perkuliahan sudah tidak semenarik dulu. Hal yang paling terlihat adalah saat kerja kelompok. Sejujurnya, saya tidak menyukai kerja kelompok. Karena dalam keanggotaan kelompok selalu muncul keegoisan. Mereka cenderung tidak berbaur. Interaksi yang diharapkan dari kerja kelompok tidak akan pernah berhasil sebab anggota pintar cenderung merekrut orang-orang yang dianggap pintar dan yang kurang pintar akan bergabung dengan golongan yang sama. Diskusi yang diharapkan akan berjalan dua arah pun akhirnya berakhir dengan kesimpulan yang pintar akan membantai yang kurang pintar. Seperti hukum rimba.

Memasuki tahun keempat perkuliahan, suasana ‘mengerikan’ itu semakin terasa. Saya merasa, semakin saya berbaur, justru semakin saya merasa terasing. Semakin saya mendapaat sapaan, semakin saya merasakan bahwa sapaan-sapaan itu hanyalah formalitas. Fake. Hanya ada beberapa yang memang mau menerima saya tanpa tendensi, selebihnya hanya menginginkan syarat. Teman-teman saya memiliki pasangan. Beberapa lebih mementingkan pasangan. Dalam kerja kelompok pun, mereka lebih memilih untuk berpasang-pasangan. Saya kecewa. Saya kesepian. Bukan karena saya tidak memiliki pasangan. Tapi saya merasa kehilangan orang-orang yang saya anggap teman. Dan sepi semacam itu membuat saya mengingat Key. Selama bekerja dulu, saya mengenal Key. Dan mulai akrab setelah menemukan sesuatu yang menarik untuk dibahas. Kopi dan buku.

Di dalam kereta jurusan Bogor itu, Key mengirim pesan singkat. Dia memang tidak jarang mendengar cerita kenekatan-kenekatan yang pernah saya lakukan. Saya pernah bercerita, jika lepas dari Cikuray saya akan ke Sukabumi yang kemudian akan melanjutkan perjalanan ke Sawarna, lalu akan ke Surabaya sebelum akhirnya ke Madiun. Selama mengenal saya, Key menilai saya sebagai orang yang tidak betah di rumah. Dan itu tidak masalah bagi saya.

I took a plane to my home town.
I brought and my pride and my guitar.
All my friends are all gone but there’s manicured lawns.
And the people still think i’m a star.

Saya mengeraskan volume lagu yang saya dengar sendiri melalui sepasang earphone. Hingga suara Mike mampu membuyarkan semua suara dengungan orang-orang di kereta. Kereta kembali bergerak, menyusuri rel-rel besi yang sunyi di malam hari.


Tahun keempat kuliah, dimana teman-teman saya sibuk memperbaiki nilai, saya justru semakin banyak melakukan perjalanan. Suasana kelas yang tidak kondusif membuat saya bosan dan memilih untuk mencari ketenangan di luar ruangan. Saya senang berada di dalam kereta tanpa tujuan, sekedar tidur, melihat lalu-lalang orang atau membaca buku. Saya senang berada di tempat-tempat dimana saya bisa leluasa menatap senja, dan mengabadikannya. Saya senang berada di kedai kopi, sekedar memesan latte atau mengamati suasana kemudian menulisnya. Saya senang menggambar saat sedang senggang. Tapi belakangan ini saya senang membaca. Berkat kedua buah buku yang Key rekomendasikan kepada saya, semangat saya membaca dan menulis kembali tumbuh.

Di dalam kereta yang tidak terlalu sesak itu, saya bercerita kepada Key. Perihal kegelisaan saya di tahun keempat kuliah. Tanpa saya duga, dia pernah merasakan hal yang sama. Merasakan saat-saat menggantung sewaktu di bangku kuliah.

Di dalam hidup ada kalanya harus ada sesuatu yang dikorbankan untuk mempertahankan sesuatu yang diperjuangkan. Saya sudah kehlangan pekerjaan saya, maka dari itu, saya tidak ingin kehilangan bangku kuliah saya. Key menyetujui ucapan saya. Melalui pesan singkatnya, dia tidak ingin mendengar keluhan saya soal kuliah yang membosankan itu. Sebab, katanya, saya sudah bisa melihat kemungkinan terburuk jika saya harus kehilangan kedua hal itu. Kerja dan kuliah.

Menghadapi permasalahan saya, Key menebak jika saya terlalu membaur. Itu dulu, sebelum saya tahu jika kebanyakan orang mendekati saya hanya dengan syarat. Menurutnya, tidak memiliki batasan tentang seseorang yang datang di hidup saya membuat seseorang dengan mudah masuk di kehidupan saya. Saya membiarkan orang-orang itu mengetahui diri saya lebih dalam, jauh di luar jangkauan saya. Tidak jarang justru menjadi setir yang mengatur hidup saya, mengubah saya menjadi seseorang yang bukan saya.

Di dalam pesan singkatnya, saya paham kenapa Key berkata seperti itu. Baginya, terlalu ada untuk seseorang justru akan membuat kita hancur. Orang cenderung menginginkan keberadaan kita jika sedang membutuhkan sesuatu. Padahal takdir manusia adalah melakukan simbiosis mutualisme, makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, meski hakikatnya manusia tercipta dan kembali secara individu. Saya adalah orang yang paling merasa serba salah jika mengucap ‘tidak’, meski kadang persetujuan yang saya ucapkan berbanding terbalik dengan intuisi saya. Maka dengan alasan tidak enak, saya kerap mengucap ‘iya’, karena sejatinya saya ingin diterima. Saya senang jika teman-teman membutuhkan saya. Saya senang jika keberadaan saya bisa berguna untuk orang lain, tapi Key benar, menjadi terlampau baik dan menjadi seseorang yang selalu ada untuk orang lain membuat saya tidak bisa bertumbuh. Hanya ada sepersekian orang yang tetap ada di saat saya jatuh. Orang yang dulu saya perjuangkan justru meninggalkan saya dalam keadaan terseok-seok. Beberapa teman saya menganggap saya ada karena saya dinilai mampu dalam urusan financial, terlepas dari bagaimana usaha saya untuk tetap survive sendiri tanpa keluarga. Mereka menganggap saya karena saya memiliki ‘nilai’ yang mungkin tidak mereka punya. Lagi-lagi Key benar. Kita yang ibarat inang bisa pelan-pelan hancur jika terlalu mementingkan orang lain. Orang-orang yang menjadi parasit akan datang disaat membutuhkan sesuatu dan pergi jika inangnya sudah mati. Di sini Key mengajarkan saya untuk bersikap selektif, bukan egois. Selektif memberikan kita kewenangan untuk memilih teman-teman yang mampu memberikan perubahan positif, bukan sebaliknya, menggerogoti. Selektif membuat kita lebih berkualitas. Selektif membuat kita semakin berkembang. Selektif membuat kita lebih diingat.

Dalam percakapan-percakapan singkat yang Key kirimkan itu, dia menegaskan kepada saya, I’m not anti social, i’m selectively social. Karena ternyata dia pernah memiliki permasalahan yang sama seperti saya. Permasalahan yang barangkali akan membuatnya merasa sepi jika kehilangan seseorang yang dia anggap berharga. Pengalaman itu membuatnya belajar, kemudian dia menularkannya kepada saya.

Teman ada dan pergi, seperti ombak di tengah lautan. Tapi teman sejati adalah dia yang tetap tinggal, menerima tanpa syarat. Menangisi, merindukan dan kemudian mengenang meski kita sudah tidak berada di dekatnya sebab kita akan tetap hidup di hatinya, begitu sebaliknya.

It's like a family.

Keluarga, yang bahkan rahasia sekecil apapun dia akan mengetahuinya.


“Yes, i’m bit quite and i don’t share a lot of what’s going on in my mind. But it’s not that i’m afraid to. It’s just that i don’t often feel the need to. I don’t share everything that crosses my mind because i know better than to believe everything that crosses my mind. I need to take my time. I need time to observe, to asses, to understand, and yes even to correct my thoughts before i let them flow out into the world. I need time because i understand and respect the power of world. So no, i don’t speak often and i don’t speak loudly. But at least you know that when i do speak, it’s going to be something i feel really understand, something that excites me, that i believe matters, and that sounds true my soul because to me, that’s what speaking is actually for.”

Malam itu, kata-kata Cristen Rogers yang saya baca seperti membenarkan perkataan Key.


Jakarta, Maret 2018