![]() |
Gambar pinjam di sini |
Belakangan ini gaya hidup menyesap kopi kembali
menjadi trend di kalangan anak muda.
Hal itu memicu munculnya kedai-kedai kopi berkonsep unik dan menjadikan bisnis
kopi sebagai sesuatu yang menjanjikan. Dengan
melakukan banyak inovasi pada minuman kopi, menjadikan kopi sebagai minuman
yang tidak pernah lekang oleh zaman. Dan tidak hanya identik dinikmati oleh
mereka yang berusia baya, kopi kini bisa dinikmati oleh semua kalangan, kapan
pun dan dimanapun seolah kebiasaan minum kopi memang merupakan sebuah tradisi
turun menurun mengingat Indonesia sendiri adalah salah satu penghasil kopi
terbesar di dunia.
Suatu ketika, saya pernah punya
angan-angan mendirikan kedai kopi yang di dalamnya terdapat buku-buku dan galeri.
Lalu tanpa sengaja teman saya mengajak
saya ke Jabat Kopi.
Bukan di Jogja, kedai kopi itu terletak di
kawasan Veteran, Tangerang. Dan hanya berjarak kurang lebih lima belas menit
perjalanan dari Stasiun Tanah Tinggi.
Sesampainya saya di Jabat Kopi
suasana belum terlalu ramai. Saya mengambil tempat di sebuah meja kayu yang
berada di tengah-tengah kedai, menghadap meja barista yang dikonsep unik
seperti gerobak angkringan yang biasa saya temui di Jogja. Di gerobak itu
terdapat toples-toples kaca berisi biji kopi yang siap untuk di-grinder. Sementara papan menu ditulis
manual di bagian atas gerobak dan memberikan kesan vintage.
Banyak anak muda memilih menghabiskan
waktu di kedai ini. Selain karena harga yang relatif terjangkau, suasana yang
ditawarkan Jabat Kopi juga sederhana namun cozy.
Didesain dengan menggunakan anyaman bambu sebagai tembok yang juga dilengkapi
lukisan-lukisan sebagai pemanis ruangan menjadikan kedai ini bernuansa klasik. Bangku-bangku berkaki tinggi
ditata mengikuti tembok bambu, sementara bangku yang berkaki lebih pendek ditata
di tengah ruangan. Jika berkunjung ke Jabat Kopi, tidak perlu khawatir kehabisan
tempat duduk. Karena bangku-bangku
kayu masih bisa ditemui di teras kedai.
Tidak hanya itu, di kedai ini saya juga
menemukan sebuah rak buku kecil yang berada tepat di bawah bracket
televisi. Buku itu lama menyita perhatian saya. Sepertinya memang ada yang janggal
jika di kedai kopi saya justru tidak menemukan rak buku. Buku-buku yang berada
di dalam rak membuat saya hidup. Membuat saya nyaman, entah kenapa. Saya suka
mencium aroma-aroma kertas usang dan aroma hujan yang akan menjadi satu
kesempurnaan jika disatukan dengan aroma kopi.
Dari situlah
terkadang ide menulis itu datang.
Kedai kopi selalu identik dengan musik-musik
folk, indie dan bahkan jazz yang membuat pikiran rileks. Tidak sedikit orang
yang menulis, menyelesaikan tugas kuliah dan menyelesaikan pekerjaan di kedai
kopi. Karena kedai kopi memberikan suasana nyaman yang bisa memicu otak untuk
berfikir lebih fresh.
Malam semakin larut. Hujan perlahan turun. Namun
tidak mengurungkan niat pengunjung untuk memadati Jabat Kopi. Bunyi-bunyi gelas
beradu dengan senda gurau dan teriakan supporter
liga Inggris yang disiarkan televisi. Di dalam keriuhan
itu, entah kenapa saya merasakan suasana yang damai. Seperti paradoks.
![]() |
Gambar pinjam di sini |
Saya menyesap mocca yang telah saya
pesan. Es yang mencair menciptakan titik-titik embun pada gelas dan membuat jejak berupa genangan kecil di meja kayu.
Yang paling menarik dari kedai ini adalah pengunjung diperbolehkan membuat
kopinya sendiri. Kita akan diajari bagaimana cara melakukan roasted kopi yang benar, menakar kopi
hingga menemukan taste yang pas dan
tentunya menggunakan biji-biji kopi lokal.
Sesuai dengan namanya, Jabat berarti
genggaman tangan. Dengan
kopi, Jabat sepertinya ingin menggandeng tangan pengunjungnya. Melalui rasa
yang dihasilkan dari kopi-kopi yang diolah secara alami dan fresh serta harga yang terjangkau agar
bisa dinikmati oleh semua kalangan.
Saya mulai
menyukai kedai kopi. Melihat barista yang sibuk mengolah biji kopi menjadi
minuman yang enak, melihat lalu-lalang pengunjung dengan raut senang, mendengar
lagu-lagu indie yang terputar, mendengar keriuhan-keriuhan, suara-suara tawa,
terikan supporter bola, denting
gelas-gelas kaca, mencium aroma kopi, aroma hujan, asap-asap rokok yang
mengepul. Hal-hal sederhana semacam itu mampu menghangatkan saya. Perasaan yang
kemudian membuat saya ingin segera menulis. Menulis untuk mengabadikan
kenangan.
Jakarta, Maret 2018
Tulisan terbaik lahir dari pola fikir yang baik, terima kasih telah mengapresiasi. ��
BalasHapus