Tiba-tiba saja aku mengingat perjalananku.
Perjalanan ke Cibodas yang dilakukan malam hari selepas Isya dari Terminal Kampung Rambutan yang pengap. Polusi asap kendaraan berbaur dengan asap rokok dan keringat orang-orang yang belum memiliki niatan untuk pulang. Barangkali itu karena sebuah kebutuhan atau tuntutan untuk mencari beberapa rupiah demi sesuap nasi untuk esok hari. Kehidupan di Jakarta memang keras seperti apa yang dikatakan bapak ketika aku berniat ingin menghabiskan separuh usiaku di kota itu.
Berbeda dengan suasana di kampung halaman yang sejuk dengan suara-suara serangga musim panas serta langit yang penuh dengan bintang, tempatku berpijak sekarang justru penuh dengan suara-suara klakson kendaraan. Umpatan dari sopir-sopir angkot, percakapan tukang buah dan pedagang lain atau suara kondektur bus yang berusaha mencari penumpang. Ke Garut, Tasikmalaya, Kuningan ataupun destinasi lain yang belum pernah kukunjungi.
Saat itu bulan Juli penghabisan. Tahun kemarin hujan turun deras hingga membuat luapan air dari selokan-selokan naik dan menyebabkan jalan tergenang. Bulan Juli dan Agustus memang bulan yang baik untuk naik gunung. Terlebih jika cuacanya sedang cerah, seperti Juli tahun ini.
Aku pergi bersama dua orang temanku. Teman kampus. Keduanya berbadan kurus dengan rambut gondrong sebatas bahu. Kebanyakan anak design atau anak seni memang memilih untuk memanjangkan rambutnya. Mereka cenderung tidak mau terikat dengan aturan-aturan membosankan dan memilih hidup bebas dengan mengapresiasi apapun.

Temanku yang satu bernama Kevin. Dia berdarah Cina-Palembang yang lebih muda setahun dariku. Sementara yang satu bernama Angga, keturunan Sunda yang sudah lama menetap di Jakarta hingga lupa bahasa ibunya. Mereka berdua sama-sama idealis sepertiku. Untuk urusan karya. Kevin lebih suka lukisan abstrak mendekati surealis. Pelukis favoritnya adalah Van Gogh yang terkenal dengan The Starry Night-nya itu. Sementara Angga, dia gemar melukis Mandala tapi dia juga menyukai lukisan-lukisan Monet. Aku sendiri, tak jelas berada di jalur mana.
Mendaki Gunung Gede, tak pernah terencanakan sebelumnya. Ini kali kedua aku mendaki gunung. Masih amatir dibanding Angga yang sudah pernah ke Rinjani, Merbabu, Kerinci, Semeru apalagi. Tapi bagi Kevin, ini pengalaman pertamanya. Masing-masing dari kami menggamit sebuah carrier besar yang berisi macam-macam logistik. Tidak perlu kusebutkan karena peralatan mendaki ya pasti cuma itu-itu saja. Bonus sebuah Nikon yang menggantung di leherku.
Mendaki, bagiku adalah sebuah candu.
Ini kurasakan ketika kali pertama kuinjakkan kaki ke Guntur. Meski nyatanya aku takut ketinggian dan trek Guntur yang yang lumayan menantang bagi seorang amatir sepertiku, toh itu justru membuatku tertarik. Kata temanku, mendaki adalah hobi orang-orang melankolis yang ingin lari dari sesuatu. Aku tidak peduli, meski awalnya alasanku ke Guntur adalah karena aku patah hati.
Persetan dengan patah hati!
Kulanjutkan. Bus yang kami tumpangi adalah bus jurusan Cianjur berwarna biru yang memiliki sedikit penumpang. Kulihat hanya ada kurang dari sepuluh penumpang yang ketiganya adalah kami. Kevin duduk terpisah di belakangku, sementara aku duduk bersebelahan dengan Angga yang memilih tempat di dekat jendela.
Jalanan ramai lancar. Lampu-lampu kota bergerak seperti slide.
Kami sengaja memilih hari selain akhir pekan karena tidak mau terjebak macet. Suasana di bus biasa saja. Ac normal, kebanyakan penumpang sudah terlelap. Hanya sedikit terdengar celoteh supir dan kondektur dalam bahasa Sunda yang tak kumengerti. Kevin mulai memejamkan mata. Wajahnya tertutup buff bermotif tentara yang menyisakan kedua mata yang terpejam. Sementara Angga sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia menyandarkan kepala di kaca jendela. Mukanya terlihat mengantuk dan lelah. Aku sendiri sibuk mengamati jalan. Menikmati saja pemandangan yang memantul di kaca jendela meski tidak ada sesuatu yang menarik di sana.
Memasuki kawasan Puncak, kanan kiri jalan dipenuhi orang-orang berjaket yang menawarkan villa. Jalanan sudah mulai sempit dan berkelok. Aku menahan mual karena masuk angin. Jadi, kumatikan ac yang ada di atas kepalaku. Selepas itu kuputuskan untuk tidur.
Tiba di Cibodas adalah pukul sebelas kurang beberapa menit. Udara dingin memaksaku merapatkan tangan di depan dada. Dibandingkan dengan suasana di terminal pemberangkatan, aku merasa jetlag. Kevin terlihat kedinginan. Dia heran dengan uap yang mengepul dari bibirnya ketika mulutnya terbuka.
“Kita istirahat di basecamp aja. Besok tinggal urus administrasi dan langsung jalan. Semoga cuaca mendukung besok,” kata Angga. Dia menguncir rambutnya. Mengangkat carrier kemudian mengayunkan langkah menuju basecamp.
Aku dan Kevin mengikutinya.
Basecamp yang dimaksud adalah sebuah warung. Ada banyak warung yang memang menjadi basecamp. Di warung-warung itu disiapkan karpet-karpet dan kasur-kasur lipat untuk istirahat. Sementara di temboknya tertempel pelbagai macam stiker komunitas dan foto pendaki-pendaki yang pernah singgah. Ada beberapa yang berfoto dengan latar Surya Kencana, sebuah lapangan luas dengan bunga-bunga edelweiss yang indah. Rencananya besok kami akan melewati jalur Cibodas, mendirikan tenda di Kandang Badak, naik ke puncak utama kemudian turun lewat jalur yang sama. Itu artinya, kami tidak akan melewati Surya Kencana. Kecuali jika teman-temanku mau diajak kesana. Tapi tentunya itu akan memakan waktu sementara kami hanya punya waktu semalam untuk mendirikan tenda.
Aku sedikit kecewa. Tapi tak apalah.
Omong-omong soal mendaki, dulu di dalam kereta api Gayabaru jurusan Jakarta-Surabaya aku bertemu seseorang. Laki-laki. Kami belum sempat memperkenalkan diri. Yang kuingat, kami duduk di bangku yang sama dan itu adalah saat-saat aku hampir tertinggal kereta.
Lelaki itu berambut gondrong. Wajahnya biasa saja dan kulitnya terbakar matahari. Dia mengenakan kaos My Trip My Adventure berwarna merah yang agak kusut, celana denim tiga perempat warna krem dan sepasang sendal jepit swallow warna hijau. Satu-satunya hal yang membuatku mengerukan dahi adalah dia memakai kacamata hitam di dalam kereta.
Saat kereta melaju, awalnya dia tidak banyak bicara. Lebih banyak mendengarkan lagu lewat headset atau mengutak-atik handphone, sesekali tertidur. Di pangkuannya ada ransel navy keluaran Nike.
Aku memilih diam saja karena basa-basi bukan keahlianku.
“Mbaknya turun mana?” Setelah lebih dari separuh perjalanan, dia membuka percakapan. Suaranya agak berat, cenderung ngebass. Dia melepas headset yang sedari tadi menggantung di lehernya. Juga membuka kacamata hitam yang aneh itu dan meletakkannya di meja kecil yang ada di kereta.
“Gubeng.” Aku menjawab padat. Sengaja tidak bertanya balik karena aku memang tidak peduli.
“Sama berarti. Ini saya mau ke Bali, kira-kira ada bus yang ke Banyuwangi nggak ya?” Pertanyaan itu tidak lebih seperti pertanyaan untuk dirinya sendiri.
“Kenapa tidak menunggu kereta saja? Ada kereta dari Surabaya ke Banyuwangi, tapi harus menunggu beberapa jam,” kataku.
“Saya sudah ditunggu teman saya. Mungkin naik bus bisa cepat ya.”
Sia-sia aku memberikan pilihan. Terserah, batinku.
Percakapan berlanjut meski tidak begitu penting. Lalu tiba-tiba saja, lelaki itu menyahut karena dia melihat sendal gunungku. “Suka naik gunung?”
“Masih sebatas rencana. Mas suka?”
“Sudah jadi makanan sehari-hari,” katanya diiringi tawa renyah.
Lalu dia mulai bercerita pengalamannya. Rupanya, dia sudah sering mendaki. Bersama teman-temannya, dia mendirikan komunitas pendakian di Depok. Komunitas itu bertujuan lebih kepada relawan peduli gunung. Kegiatannya bukan hanya sekedar mendaki untuk bersenang-senang, tapi lebih kepada usaha untuk merawat gunung dengan menanam pohon atau membersihkan gunung dari sampah pendaki.
“Ke Bali mau naik gunung juga?” Aku mulai bisa mengimbangi percakapan dengan lelaki itu.
“Iya, mau ke Gunung Agung.”
“Di Semeru katanya ada plang Soe Hok Gie ya?”
Dia mengangguk saja. “Kapan-kapan kalau ada kesempatan, kesanalah. Barangkali kalau butuh teman, saya dan teman-teman saya akan sangat senang membantu.” Lalu, beberapa saat kemudian dia memutar lagu Mahameru yang menurutnya memiliki daya magis dan membuatnya merasa tenang. “Kamu mau? Sini saya kirimkan.” Melalui bluetooth, dia mengirimkan lagu itu. Aku mendengarkan sekilas dan terhipnotis.
“Dari dulu saya ingin sekali naik gunung. Melihat langit sedemikian dekat. Selalu membayangkan bagaimana jika saya melihat langsung matahari yang menyembul atau tenggelam di balik perbukitan. Matahari yang tidak berjarak, seolah dengan kedua tangan ini saya dapat menggenggamnya.”
“Menuju puncak itu melelahkan. Tapi setelah sampai puncak semua akan terbayar.”
Segalanya berubah hening. Aku dan dia terdiam satu sama lain, merenungi pikiran masing-masing. Dari dalam kaca kereta, pemandangan tidak berubah. Hanya menampakkan deretan persawahan yang mulai terlihat mengabur karena malam. Lalu berganti dengan lampu-lampu kota yang terlihat sunyi dan lelap. Juga klakson-klakson motor atau mobil yang masih menampakkan aktivitas di penghujung malam yang dingin itu.
Perjalanan ke Timur kali ini aku tidak sendirian.
Akhirnya selepas Madiun, menuju Mojokerto. Lelaki itu tertidur tepat di depan bangkuku yang saat itu sudah kosong. Sebelum tidur, dia berpesan agar aku membangunkannya setelah sampai di Gubeng dan dia ingin bertukar nomor ponsel denganku. Aku menyanggupinya lalu kembali sibuk dengan pikiranku. Diam-diam lagu Mahameru yang dia kirimkan mengalun samar melalui sepasang handsfree di telingaku. Kereta masih bergerak menerobos malam yang semakin larut, menuju Timur dengan kebisuan-kebisuan yang entah datang dari mana.
Lewat dini hari speaker dari PPKA di stasiun mengabarkan jika kereta telah sampai di Surabaya. Aku membangunkan lelaki itu sesuai intruksi yang dia minta. Dia sedikit terperanjat dan barangkali mimpinya telah menghapus semua memori yang baru saja mendarat di otaknya. Dia cepat-cepat menuruni gerbong kereta. Aku ingat jika dia butuh waktu cepat untuk sampai ke Bali. Dan saat dia mengetahui jarak Gubeng dan Bungurasih itu tidak dekat, dia sedikit khawatir. Barangkali itulah alasan yang membuat dia begitu tergesa menuruni gerbong kereta.
Aku bisa melihat punggungnya bersama penumpang-penumpang lain yang memasuki pintu keluar. Rencana untuk bertukar nomor ponsel itu hanya sekedar rencana saja. Aku ingat tapi tidak mau mengingat, barangkali dia juga lupa. Itu tidak terlalu penting bagiku. Aku membiarkannya berlalu. Di langit Surabaya yang masih pekat, tanpa sadar kami sudah kembali menjadi orang asing.
Ada beberapa orang yang kita temui di dunia ini. Entah hanya singgah seperti lelaki itu atau memilih untuk tinggal lebih lama.
Dan aku menyukai perjalanan. Perjalanan membuatku bisa membaca setiap karakter orang-orang yang mendarat dalam hidupku. Membaca setiap situasi. Menemkan makna hidup, sekecil apapun. Lelaki di kereta itu adalah satu dari sekian orang yang pernah bertukar cerita denganku sewaktu aku melakukan perjalanan. Itulah kenapa perjalanan selalu memberikan kesan. Perjalanan membuatku bisa menyelami dunia orang lain yang belum pernah kurengkuh.
Aku memutar lagu Mahameru itu kembali. Sebuah kopi panas seolah bisa menghangatkan perasaanku malam ini. Basecamp sepi. Hanya ada beberapa orang yang sudah terlelap dengan mimpinya masing-masing. Kami bertiga masih terjaga. Aku hanya menyimak Angga dan Kevin berbagi cerita. Sesekali mereka menyesap kopi hangat itu. Asap rokok melambung ke udara, mengingatkanku pada kabut Gunung Guntur yang pekat, namun selalu meninggalkan cerita.
Berkat orang di kereta itu dan teman-teman yang pernah mengizinkanku ikut mendaki, aku jadi ingat satu hal. Bahwasanya mendaki tak ubahnya sebuah kehidupan. Dan kehidupan tidaklah lepas dari apa yang orang sebut sebagai proses. Semakin tinggi harapan seseorang, semakin tinggi pencapaian yang ingin digenggam seseorang, maka semakin berat lah proses yang harus dia lalui. Sama halnya dengan mendaki. Barangkali pemahamanku tentang mendaki masih sangat jauh dibandingkan dengan pendaki-pendaki lain. Tapi dengan mendaki, berbaur dengan alam, bertemu dengan orang-orang yang memiliki kondisi yang berbeda denganku, aku semakin menemukan esensi dan kebesaran Tuhan.


Dan dengan mendaki, perlahan ada sesuatu yang sembuh secara perlahan.
Kusesap kopi yang hampir tandas. Malam kian larut dan selimut tebal itu belum mampu menghangatkan tubuh kami yang menggigil. Selepas kopi tandas dan rokok mati, kami bertiga jatuh tertidur.




Jakarta, Februari 2018