Hari ini aku sengaja pulang lima belas menit lebih awal
dari biasanya. Bukan tanpa alasan, melainkan karena aku tidak mau kehilangan
matahari pukul lima empat lima yang menggantung di langit-langit Jakarta.
Aku lupa sudah berapa lama aku tenggelam dalam rutinitas
kerja yang itu-itu saja, hingga tak pernah lagi mengabadikan momen-momen
berharga seperti saat ini.
Aku memilih sebuah kedai kopi tak jauh dari Stasiun
Sudirman yang padat dan sengaja memilih kursi yang sama sebagaimana aku selalu
berkunjung ke tempat itu. Sebuah kursi kayu berwarna coklat yang tepat berada
di dekat jendela. Menghadap senja. Laptop di depanku menyala, menampilkan
kursor yang berkedip-kedip di halaman Microsoft Word yang masih bersih. Di
samping laptop itu, secangkir kopi masih menguarkan aroma dan uap panas. Aku
sudah memesannya dua kali. Kopi pertama sudah tandas sepuluh menit yang lalu,
sementara belum ada satu huruf pun yang bisa aku rangkai.
Jarum jam di tanganku hampir merangkak pada angka lima
empat lima. Matahari mulai condong, membiaskan cahaya kemerahan yang memantul
lewat jendela. Cahaya itu tepat mengenai cangkir kopiku. Cahaya yang suram.
Terlihat lebih pucat atau hanya perasaanku saja?
Playlist mengalun samar-samar lewat sepasang earphone yang terpasang di telinga. Lagu yang sama dengan kemarin
serta kemarinnya lagi. Juga minggu lalu. Dalam sehari aku lupa sudah berapa
kali memutar lagu itu. Mungkin sepuluh, lima belas atau dua puluh tiga kali?
Entahlah, yang jelas aku belum berniat menghapusnya dari deretan playlist-ku.
Ada seorang anak kecil dengan matanya yang jernih tak
henti melihat ke arahku. Seolah aku ini adalah tontonan menarik baginya.
Kuberikan sebuah senyum dan tanpa kuduga dia melakukan hal yang sama. Senyum
anak itu tampak tulus. Giginya ompong tapi aku menyukai raut muka dan senyumnya
yang polos. Mengingatkanku pada seseorang yang memperkenalkanku pada matahari
pukul lima empat lima.
“Apa menariknya matahari yang kau sebut-sebut sebagai
matahari lima empat lima? Selain merahnya yang lebih merah dari merah yang
sesungguhnya?”
Dia tidak menjawab. Matanya masih terpaku pada merah
yang menggantung di langit. Merah yang sendu seperti sorot kedua matanya.
“Hampa, seperti matamu…”
Aku diam, tidak bereaksi apa-apa. Dia memalingkan
sejenak matanya ke mataku lalu membuangnya lagi. Bulu mata lentiknya mengerjap.
Dan tepat saat itu jantungku berdegup begitu kencang.
“Melihatnya, aku jadi teringat matamu,” katanya.
Suaranya sengau, lebih mirip sebuah gumaman.
Dahiku berkerut tapi dia tidak membahasnya lagi dan
menyuruhku menikmati cahaya matahari lima empat lima yang membias di kaca
jendela dalam hening yang beku.
Bagiku, selalu ada hal menarik dari senja pukul lima
empat lima yang mulai jarang kutemui sejak hari itu. Deskripsi tentang ‘hari
itu’ adalah hari ketika untuk kali pertama dia mengecup keningku dan berlalu
dalam keheningan yang tak kunjung menemu jawab. Seolah dengan diam lah dia bisa
mengatasi segalanya.
Aku dan dia berkenalan dalam situasi yang tidak pernah
terencana. Pukul lima empat lima saat keretaku berlalu sepuluh menit lebih awal
dari kedatanganku yang membuatku kehilangan tiket dan memaksaku memesan tiket berbeda dengan tujuan yang sama. Dia yang ternyata
dipertemukan kembali denganku di bangku yang bersisian. Dia yang membagi
cangkir kopinya. Dia yang berkata bahwa seharusnya tempatku duduk adalah untuk
seseorang yang dia tunggu sebelum akhirnya orang itu harus membatalkan perjalanan mereka dan membuat
tiket itu jatuh padaku. Dan dia yang selalu membuatku berpikir perihal siapa
orang yang dia tunggu itu.
Aku tidak pernah tahu meski aku sudah mengenalnya lebih dari tiga tahun.
“Poe…,” dia memperkanalkan diri. “Poetry.”
Aku menatap tangannya yang kurus dengan urat-urat yang
terlihat menonjol. Dia memiliki jari-jari yang panjang.
“Nama yang aneh.” Pada akhirnya aku membalas uluran
tangannya. Tangan itu dingin dan lembab. Sama sekali tidak lembut ataupun
hangat. “Elise.”
“Nama yang suram,” katanya mengikuti komentarku.
Suaranya berat dan sedikit serak namun jelas dan tegas.
“Hanya masalah nama apa pentingnya?” Aku berkomentar.
“Senang berkenalan denganmu.” Dia memaksakan senyumnya.
Aku menyadari itu. Andai saja dia tahu aktingnya sama sekali tidak bagus,
justru lebih mirip basa-basi yang benar-benar membosankan.
Meski aku mengenalnya selama itu, hanya sedikit yang
kutahu perihal dirinya ataupun latar belakangnya. Dia tidak pernah suka aku
membahas kehidupannya ataupun masa lalunya.
Katanya, “Waktu dan sungai tidak pernah mengalir ke
belakang[1],
kan? Jadi untuk apa kau menanyakan sesuatu yang sudah berlalu?”
Di kedai kopi itu, aku dan Poe duduk berhadapan di dekat
jendela. Aku tidak berkomentar sementara dia selalu sibuk dengan dunianya
sendiri. Kami sama-sama membuang pandang keluar jendela, sibuk dengan pikiran
masing-masing.
Kulihat dia menyesap kopi yang dipesannya. Ada secercah
merah sendu yang memantul di matanya. Merah matahari pukul lima empat lima.
Merah yang suram.
“Kau tahu Elise, pukul lima empat lima adalah saat di
mana matahari sedang bagus-bagusnya,” katanya membuyarkan lamunanku.
Aku pura-pura tidak mendengar meski diam-diam
kuberanikan diri melirik ke arahnya.
Poe memiliki garis wajah yang tegas dengan rahang dan
tulang pipi yang yang kuat serta kombinasi hidung yang sempurna. Hal itu
membuat matanya terlihat cekung, hitam dan tersembunyi di balik kacamata
berwarna biru indigo.
Selama berada di dekatnya, hening lebih banyak mengambil
alih. Dia tidak suka bicara.
Poe lantas mengeluarkan rokok dari saku celana,
memantikkan api kemudian menyesap benda berbahan tembakau itu dalam-dalam.
Lelaki itu tampak bosan. Dia menopang dagunya dan memilih diam lebih lama.
Menyesap kembali rokoknya berkali-kali hingga membuat asap putih melambung ke
udara.
Aku gelagapan dan terbatuk-batuk. Asap rokok itu
mengenai hidungku. Aku memang memiliki sedikit masalah dengan asap, terutama
asap rokok.
“Aku bermasalah dengan rokok tapi aku tidak berhak
mengusirmu, kan?”
Poe tidak berkata apa-apa. Dia lantas membangkitkan
tubuhnya dan berlalu membelakangiku.
“Aku akan pindah sebentar untuk merokok.”
Asap rokoknya beraroma mentol. Dan kelak aroma itu yang
akan terus menghantuiku.
“Mama bilang Kakak terlalu banyak menuang krimer.
Kopinya jadi tumpah.” Suara anak kecil membuyarkan lamunanku. Itu adalah anak
kecil yang tadi tersenyum padaku. Memang benar yang dia katakan. Kopiku sudah
luber di meja. Sedangkan aku tidak menyadari kecerobohanku.
Sebelum anak kecil itu berlalu, aku mengucapkan terima
kasih dan segera membersihkan noda kopi yang mengotori meja dengan beberapa
lembar tissue basah.
Detik jam bergerak pasti, sebagaimana dengan matahari.
Senja ungu dengan bias kebiruan memantul di permukaan kopiku. Membentuk gradasi
warna pekat yang susah dideskripsikan. Seolah senja dan bayangan Poe
benar-benar terperangkap ke dalam cangkir bertangkai susu itu. Kusesap kopi itu
dengan getaran yang perlahan merambat, mengirimkan hangat yang tiba-tiba
menyelimutiku. Campur aduk antara manis dan pahit yang mempunyai komposisi
seimbang sehingga membentuk rasa abstrak yang sempurna.
Dan itulah kenikmatan menyesap kopi. Aroma dan rasanya
mengantarkanku pada kenanganku bersama Poe di tempat ini dan waktu yang tidak
pernah berubah. Pukul lima empat lima.
“Hei, kau terlalu banyak menuang krim. Kopimu jadi
tumpah!” Suara Poe nyaring. Dia menatapku sekilas, tapi kemudian buru-buru
membuang tatapannya. “Dasar bodoh!”
Selalu saja ada hal yang menarik dari senja pukul lima
empat lima yang aku lewati bersama Poe. Di hari berikutnya dan berikutnya lagi,
kami akan selalu berada di tempat ini. Poe dengan kopi hitam pekatnya sementara
aku dengan kopi krimerku yang sering luber karena lamunan.
Aku dan Poe berbeda, tapi kami memiliki kesamaan yang
membuat kami selalu menghabiskan senja pukul lima empat lima bersama. Poe suka
menulis, begitu juga denganku. Dia bekerja sebagai wartawan di sebuah surat
kabar terbitan ibu kota. Sementara aku bekerja sebagai editor freelance di sebuah penerbitan indie.
“Kuperhatikan kau selalu melakukan kecerobohan yang
sama. Sebenarnya apa sih yang ada di pikiranmu?” Poe menopang dagunya. Kali ini
dia begitu intens menatap ke arahku. Dahinya sedikit berkerut dan bola matanya
begitu bening. Polos seperti bola mata bayi. Ada gurat kemerahan di kedua
pipinya. Merah yang begitu samar. Seperti biasa, dia menyesap rokoknya dan
membuang asapnya menjauhi hidungku. “Lagian apa enaknya kopi dengan krimer?”
Senyumnya tipis, menghiasi raut muka tanpa ekspresi itu. Senyumnya kali ini
lebih mirip sebuah ejekan dan terlihat membosankan.
“Diam dan uruslah pekerjaanmu, Poe!”
Poe tertawa di balik ekspresi datarnya. “Kalau galak
begitu, mana ada lelaki yang mau jadi pacarmu kelak?”
Aku berdehem dan dia menutup bibirnya, seperti menahan
tawa. Tawanya renyah dan meneduhkan. Meski ekspresi mukanya datar, tapi dia
terlihat manusiawi jika sedang tertawa.
Poe yang seperti itu tidak terlihat seperti alien.
Dia terlihat… manis.
Melihat aku tidak bereaksi apa-apa, dia kembali berkutat
dengan laptop yang ada di depannya. Diam sejenak untuk memesan kopi. Mematikan
rokok yang sudah habis pada asbak. Dan kembali memantikkan api untuk rokok yang
kesekian.
Aku memperhatikannya. Poe yang seperti itu, seperti apa
hatinya? Apa dia pernah terluka? Atau jatuh cinta?
Berkali-kali dia menyesap kopi pekatnya dan ini sudah
kali kedua dia memesan kopi yang sama.
Di balik kacamata minusnya, matanya memantulkan sinar
radiasi laptop. Jemarinya yang kurus dan panjang lincah mengetik meski sebatang
rokok terselip di antara jari manis dan telunjuk.
“Ingat, jauhkan asap rokokmu dariku.” Bau mentol itu
mulai menguar di hidungku.
“Diam dan uruslah kopimu agar tidak sering luber.”
“Kau harus mencoba krim sesekali agar rasa kopimu tidak
membosankan,” aku berkata.
Kembali dia menyesap kopinya yang masih mengepulkan uap
panas, mengangkat cangkirnya seolah-olah akan mengajakku bersulang. “Apa kau
tidak berniat mencoba kopi tanpa krimer?”
Wajahnya yang tersenyum kali pertama kuingat. Serta
aroma mentol dan kopi pekat andalannya.
Jam pelan merangkak naik, berlalu terlampau jauh dari
angka lima empat lima. Aku tersenyum dalam kebekuanku sendiri. Membenamkan
bayang-bayang Poe dalam lamunan, dalam cairan kopi yang perlahan telah menjadi
dingin dan dalam layar Microsoft Word yang masih bersih.
Di manapun kau,
apa kita masih melihat senja yang sama?
Kedai kopi perlahan sepi. Lampu-lampu telah menyala dan
langit sudah berubah pekat, sepekat kopi kesukaannya. Dari kejauhan, suara
sirine kereta tenggelam bersama deru klakson dan hingar bingar ibu kota yang
tak pernah mati. Playlist yang
berulang-ulang kuputar adalah lagu kesukaan Poe. Lagu suram, seperti senja
pukul lima empat lima yang sama suramnya dengan dua bola matanya yang sekarang
entah ada di mana.
Jakarta, September 2017
0 komentar:
Posting Komentar