Orang
yang suka mendaki adalah mereka yang sudah berdamai dengan kesepiannya
sendiri-sendiri.
Malam
itu di pasar Cibitung yang pengap, truk sayur yang akan membawa saya serta
ketiga teman saya, terparkir. Selepas semester berat yang sudah kami jalani dan
sebagai pembuka datangnya libur semester ini, kami berencana mengadakan sebuah
perayaan kecil. Rencana mendaki gunung seolah merupakan agenda rutin yang harus
dilaksanakan selepas ujian semester. Maka, di Stasiun Cibitung itulah kami
bertemu. Dengan sebatang rokok yang tersemat di sela-sela jari, kedua teman
saya sudah menunggu lebih dulu. Mereka telah siap dengan carriernya. Dan perjalanan ini adalah kali pertama saya naik truk
ke Garut. Yang selanjutnya akan membawa kami ke basecamp Tapak Geurot di daerah Cigedug.
Dari
Cibitung, truk berangkat pukul dua pagi. Saat malam tiba, banyak truk sayur
yang memang menjadi alternatif transportasi para pendaki untuk sampai ke Garut.
Truk yang membawa saya hanya berisi delapan orang penumpang. Tiga pendaki
Guntur, satu warga Garut, tiga teman saya dan saya sendiri. Langit berwarna
biru pekat dengan sedikit pantulan sinar bulan yang menyatu dengan lampu-lampu
jalan. Di dalam bak, angin yang berhembus kencang memaksa saya merapatkan jaket.
Saya memandangi langit dengan bulannya yang seolah-olah mengikuti laju
kendaraan. Pohon-pohon yang terkadang memayungi langit, plang-plang penunjuk
jalan, lampu-lampu jalan yang masih saja temaram, semua terasa dekat di atas
kepala saya. Beratapkan langit, saya terlelap dengan pikiran-pikiran yang berkonotasi
seolah mencari definisi makna yang saya rangkai sendiri.
Saya
terbangun ketika langit sudah mulai terang. Gerimis dan kabut tipis yang
menciptakan gigil menjadi sapaan pagi saya kala itu. Dari pemberhentian
terakhir, kami masih harus menempuh jalanan beraspal untuk sampai ke basecamp.
Di kanan kiri jalan terdapat rumah-rumah warga. Senyum-senyum ramah penduduk
menjadi pemandangan yang menyapa kami pagi itu. Perasaan saya menghangat.
Keramahtamahan yang sepertinya mulai luntur masih saya temui lekat di desa ini.
Anak-anak sekolah menghentikan langkah ketika melihat carrier-carrier terpanggul di pundak kami. Mereka terlihat takjub.
Barangkali setelah beranjak dewasa, mereka juga berkeinginan memanggul carrier seperti apa yang kami lakukan.
Basecamp
Tapak Geurot hanya berupa sebuah rumah sederhana dengan cat hijau yang
jendelanya penuh dengan stiker. Di depan basecamp
terdapat sebuah bale yang bisa digunakan untuk melepas lelah. Udara segar dan langit
biru dengan sinar matahari menyembul dari balik Cikuray yang berkabut mengantarkan
kami ke basecamp. Meski tidak seramai
basecamp di Bayongbong atau Pemancar,
sudah ada beberapa pendaki yang berniat muncak ketika saya dan teman-teman saya
datang.
Di
basecamp, kami memutuskan untuk mengemas
ulang bawaan di carrier. Pakaian
ganti yang akan kami pakai saat pulang kami tinggal di basecamp. Hal ini bisa sedikit mengurangi beban berat carrier yang akan kami bawa. Setelah
selesai mengemas ulang barang bawaan dan melepas lelah dengan kopi serta nasi
bungkus, pukul sebelas kami memutuskan untuk melanjutkan pendakian.
![]() |
Mt. Cikuray via Tapak Geurot |
Menuju
Pos 1 jalanan yang kami lewati dikelilingi perkebunan sayur milik warga yang masih
cenderung landai dan terbuka. Sementara Papandayan dan Cikuray yang gagah seolah
mengapit kami. Langit siang itu luar biasa cerah. Matahari tidak begitu terik
dengan angin semilir yang menyejukkan. Gugusan awan putih bergerombol membentuk
sebuah kumpulan seperti kapas halus. Dari basecamp
menuju Pos 1 perjalanan masih belum terasa berat. Di kanan kiri jalan, kami
menemui banyak pekerja. Ibu-ibu dengan lilitan kain-kain di atas kepala yang sibuk
memanen sayur. Atau bapak-bapak yang sibuk menyemprot pestisida. Mereka semua
tersenyum ramah, sehingga membuat kami merasa diterima.
Sesampainya
di Pos 1 kami singgah sebentar melepas lelah kemudian kembali melanjutkan
perjalanan.
Menuju
Pos 2, sayup-sayup azan berkumandang dari kejauhan. Di bawah pohon yang lumayan
rindang kami memutuskan untuk menaruh carrier.
Sambil menunggu azan, kami mengeluarkan nesting dari dalam carrier. Menyeduh secangkir kopi, sementara teman saya memilih
untuk menghabiskan sebatang rokok. Saya menikmati kopi beratapkan langit biru
yang memiliki gumpalan-gumpalan awan. Awan-awan itu bergerak seiring dengan
semilir lembut angin yang mengenai kulit saya.
Dari
Pos 1 menuju Pos 2, jalanan setapak mulai terlihat menanjak. Jalanan itu berupa
tanah yang memiliki rongga akibat gesekan roda kendaraan bermotor yang pasti
akan licin jika hujan turun. Tidak jarang kami harus berpapasan dengan trail-trail petani yang mengangkut
karung-karung sayuran hasil panen. Setelah kurang lebih menempuh perjalanan
selama dua jam, pukul dua siang akhirnya kami tiba di Pos 2.
Pos
2 merupakan sebuah gubuk bambu berukuran tidak terlalu besar yang memiliki
bale. Dari Pos 2, Papandayan terlihat begitu gagah dengan hamparan perkebunan
sayur milik warga. Saya menyandarkan carrier.
Sementara teman yang lain menyeduh kopi dan mengeluarkan camilan. Di bale,
sinar matahari mulai terlihat condong ke barat. Kabut yang menutup Papandayan
sedikit demi sedikit mulai bergerak. Sayup-sayup suara Meng dengan Pulang-nya
menjadi pengiring senda gurau siang itu. Semilir angin yang menyapa saya
membuat saya terlelap sejenak.
Cukup
lama kami melepas lelah di Pos 2. Pulang berganti dengan Desember. Desember
berganti dengan Resah. Resah berganti dengan Berjalan Lebih Jauh. Lagu-lagu
indie yang terputar di Pos 2 bersahutan dengan suara serangga, membuat saya
seolah enggan beranjak. Tapi perjalanan menuju Pos 3 masih harus ditempuh dalam
waktu 2-3 jam lagi.
Akhirnya
karena tidak mau terjebak malam di trek, kami memutuskan untuk kembali
melanjutkan perjalanan setelah rapi mengemas nesting dan semua peralatan ke
dalam carrier.
Setelah
melalui perjalanan selama kurang lebih 3 jam, saya dan teman saya akhirnya bisa
sampai ke Pos 3 dengan banyak break.
Jalur pendakian ke Pos 3 sudah lebih menanjak dibanding Pos 2. Di jalur ini
perkebunan sayur sudah tidak sebanyak di Pos 1 atau Pos 2. Pohon-pohon pinus
dan ilalang menjadi pemandangan utama yang kami temui. Tidak jarang kami bertemu dengan pendaki lain yang
mempunyai misi yang sama. Dan salah satu hal yang menarik ketika kita mendaki
gunung adalah kita bisa mengenal pendaki-pendaki lain yang bahkan sebelumnya
belum pernah kita temui.
Pos
3 merupakan sebuah saung yang di depannya terdapat halaman bergenteng dan
langsung menghadap ke Papandayan. Saat tiba di Pos 3, gerimis tipis
mengantarkan aroma hujan yang membuat rasa lelah saya hilang.
Setelah
meletakkan carrier, kami memutuskan
untuk membuat kopi sebagai pengobat haus dan menghangatkan tubuh. Di Pos 3,
kami tidak sendiri. Ada kurang lebih 4 tenda yang berdiri, termasuk tenda kami.
Saya dan seorang teman bertugas memasak. Sementara kedua teman saya bertugas
mendirikan tenda.
Sambil
menunggu air yang saya masak di nesting mendidih, saya duduk di sebuah kayu
yang menghadap langsung ke Papandayan. Keheningan menyelimuti saya.
Pikiran-pikiran penat yang saya rasakan di kota hilang begitu saja, tergantikan
dengan pikiran tenang yang entah datang dari mana.
![]() |
Pemandangan di Pos 3 dengan latar Papandayan |
Selalu
ada hal yang membuat saya merindukan gunung. Bukan karena ingin melarikan diri
dari sesuatu. Tapi di gunung, saya seperti menemukan sesuatu. Bertemu
orang-orang baru yang memiliki misi yang sama. Merasakan keheningan. Berbagi
kopi dengan cangkir yang sama tanpa tendensi. Lagu-lagu indie yang mengalun
melalui MP3 portable. Senda gurau.
Obrolan dengan warga lokal. Menikmati masakan sederhana yang dihamparkan di
atas matraas yang beralaskan daun pisang, kertas nasi ataupun trash bag.
Di
gunung manapun, ada satu hal yang selalu membuat saya ingin kembali.
Kebersamaan.
Bahwa
kebersamaan yang saya dapatkan pada saat melakukan perjalanan tidak akan pernah
bisa dibeli dengan apapun.
Gerimis
yang turun berangsur reda, berganti dengan sinar hangat yang tersembul dari
balik awan. Papandayan semakin terlihat anggun dengan senja yang luar biasa
indah. Satu sesapan kopi mulai menghangatkan tenggorokan serta badan saya.
Berlatarkan Banda Neira yang sendu, setelah
tenda berdiri dan makanan yang kami masak matang, kami menggelar matras,
melapisinya dengan kertas nasi, menghampar makanan tersebut lantas bersama
dengan pendaki lain, kami menyantap makanan itu.
Makanan
sederhana yang memiliki rasa istimewa.
El
bilang, makanan terenak adalah makanan apapun yang dimakan di gunung. Dan lagi-lagi,
dia terbukti benar.
To be continued...
Jakarta, Maret 2018
0 komentar:
Posting Komentar