Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk bisa ‘menemukan’, salah satunya dengan melakukan kegilaan. Sebagaimana Sekar yang nekat ke Papua untuk menemui El, atau El yang melakukan banyak perjalanan untuk mencari esensi dari kata ‘menemukan’ itu sendiri.
Omong-omong soal kegilaan, ada kalanya dalam hidup kita melakukan sekali atau dua kali kegilaan agar hidup tidak berjalan stagnan. Lantas tanpa rencana, malam itu saya melakukannya lagi. Kegilaan kali keempat yang saya ingat.
Dari Depok, saya berencana pergi ke Tambun dengan commuter line. Saya ingin mengunjungi Gedung Juang yang tidak jauh dari stasiun karena menikmati arsitektur-arsitektur tua adalah kesenangan saya yang lain. Pukul 18.00 kereta sampai di Manggarai. Jika tidak punya keperluan mendesak, pergi ke Bekasi di jam-jam ‘rawan’ adalah sebuah kebodohan. Karena seperti dugaan saya, antrean manusia di jalur Bekasi sudah seperti ikan asin yang siap untuk digoreng. Saya menghela napas. Tidak mau mengambil resiko, saya memutuskan ke Stasiun Jakarta Kota dengan harapan kereta ke Bekasi akan sepi. Sepanjang perjalanan ke Jakarta Kota, semburat merah senja menciptakan siluet-siluet gedung pencakar langit. Yang saya tahu, orang-orang Jakarta selalu melupakan senja. Di jam-jam saat jalanan mendadak penuh dan macet atau saat orang-orang berlarian mengejar kereta dan berdesak-desakan di dalam angkutan-angkutan umum, sudah pasti itu adalah saat senja. Maka, semburat merah yang saya lihat itu adalah kesepian. Sangat sedikit orang Jakarta yang mengabadikan senja dan cenderung lupa bahwa Tuhan menciptakan semburat jingga yang luar biasa indah di penghabisan siang, setiap harinya. Beberapa orang Jakarta justru sibuk  mengabadikan antrean-antrean di jalur kereta yang seperti ikan asin itu, memikirkan menu makanan paling enak untuk mengenyangkan perut yang keroncongan dan mereka melupakan senja.
Menuju Isya, kereta saya sampai di Jakarta Kota. Turun dari kereta, saya memutuskan untuk duduk sebentar menikmati rumput laut kering. Kereta yang tadi saya naiki, kembali melanjutkan perjalanan ke Bekasi. Tidak lama berselang, kereta Bekasi yang selanjutnya datang. Dugaan saya tepat. Jurusan Bekasi tidak terlalu ramai dari Jakarta Kota sehingga saya mendapat tempat duduk di dekat pintu. Malam merangkak naik,  kereta mengalami delay cukup lama di sepanjang jalur menuju Manggarai yang membuat rencana saya ke Tambun sudah bukan menjadi prioritas saya saat saya melihat jam di layar handphone. Menuju Manggarai, penumpang kembali berdesak-desakan. Kereta melaju seperti biasa ke Bekasi, mengantarkan pekerja-pekerja yang lebih suka berlarian ketika kereta mulai memasuki peron.
Saya memutuskan untuk ikut kereta ke Bekasi. Dan sesampainya kereta di Bekasi, saya tidak mengikuti penumpang-penumpang lain untuk turun. Saya masih di tempat duduk yang sama, memutuskan untuk kembali mengikuti kereta ke Jakarta Kota.
Stasiun yang terdekat dari kost saya adalah Stasiun Duren Kalibata. Untuk sampai di Kalibata, saya bisa saja transit di Manggarai dan mengambil kereta jurusan Bogor. Lebih cepat dan menghemat waktu. Tapi saya memilih rute terjauh. Saya turun di Jatinegara. Dari Jatinegara, saya mengambil kereta jurusan Bogor yang memakan waktu karena harus melewati Pasar Senen dan Tanah Abang sebelum sampai ke Kalibata.
Sepanjang perjalanan dari Depok – Manggarai - Jakarta Kota – Bekasi – Jatinegara – Kalibata, saya habiskan dengan membaca buku.
Sekedar ingin mengusir kebosanan atau menciptakan lelah atau sekedar hanya ingin melihat lalu lalang orang, tidak jarang saya melakukan perjalanan kereta tanpa tujuan. Kali pertama saya pernah melakukan perjalanan ke Surabaya, dua hari, dengan kereta. Saat itu, kereta Gayabaru jurusan Surabaya Gubeng masih berangkat dari Stasiun Jakarta Kota. Jadual keberangkatan kereta tercetak pukul 11.30 di tiket. Dengan menggunakan busway, saya berangkat dari kost di kawasan Kemang. Jalanan di Jakarta memang susah diprediksi. Jelang 10 menit keberangkatan kereta, saya masih terjebak di halte Harmoni. Kepanikan dan suhu pendingin di busway membuat telapak tangan saya basah. Suara detak jantung menyamarkan suara klakson-klakson kendaraan di jalanan raya, kala itu.
Tiga menit menuju keberangkatan, saya sampai di halte Jakarta Kota. Tanpa pikir panjang, saya langsung mempercepat langkah, menyusuri tangga dan lorong-lorong menuju stasiun. Sesampainya di stasiun, kereta sudah bergerak. Tanpa memedulikan speaker dan tanpa melakukan checking tiket, saya langsung berlari memasuki gate. Dua orang polsuska yang saat itu tengah berdiri di pintu gerbong paling belakang melihat saya. Dengan baik hati, mereka menunda pintu tertutup. Lalu dengan perkataan yang masih lekat dalam ingatan saya, mereka menyuruh saya menaiki gerbong mana saja. Viola! Separuh jantung saya mencelos. Saya berhasil naik.
Setelah berhasil mengatur ritme napas, saya mencari gerbong di mana saya akan duduk. 19 E, gerbong 2, saya berhasil menemukannya. Tempat duduk itulah yang membuat saya bertemu lelaki eksentrik yang gemar bercerita tentang gunung.
Kereta mengalami keterlambatan. 30 menit berlalu dari jadual kedatangan, saya tiba di Surabaya pukul 02.30 dini hari. Saat itu langit Surabaya gelap meski ada secercah merah hasil radiasi lampu-lampu kota. Dengan sepeda motor, saya pergi ke kawasan Kureksari, Waru, Sidoarjo. Di kamar indekos saudara saya yang notabene sudah berkeluarga itulah saya ‘numpang tidur’ yang tidak benar-benar tidur. Karena pukul 09.00 selepas sarapan sederhana, saya bertolak kembali ke Jakarta, dengan menaiki kereta yang sama.
Barangkali banyak alasan kenapa kita melakukan kegilaan dan melakukan hal-hal di luar nalar. Salah satunya mungkin karena hati yang teramat jatuh. Pengalaman itulah yang membuat saya melakukan perjalanan kereta tanpa tujuan. Pernah suatu ketika, dari Stasiun Pasar Minggu, commuter line di jam-jam padat mengantarkan saya ke Stasiun Bogor. Matahari sudah tenggelam sempurna ketika saya sampai di Bogor, seorang diri. Tidak tahu harus kemana dan harus berbuat apa, akhirnya saya membeli seplastik tahu yang biasa dijajakan di pinggiran stasiun. Saya berjalan dengan suasana asing. Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Angkot-angkot berklakson dengan tujuan menarik penumpang. Pedagang-pedagang tidak berhenti menawarkan dagangan. Suasana semacam itu lekat dalam ingatan saya. Akhirnya, di depan Taman Kopi yang ramai dengan pengamen dan pedagang, saya menghabiskan potongan demi potongan tahu yang saya beli. Rasa pedas cabai membuat air mata saya meleleh yang segera saya netralkan dengan sebotol air mineral yang saya bawa.
Setelah tahu habis, saya memutuskan untuk kembali. Tiket tujuan Stasiun Jakarta Kota sudah ada di tangan. Berbeda dengan keberangkatan yang penuh sesak, kali ini suasanya lumayan lengang. Saya mendapat tempat duduk di samping seorang bapak-bapak. Lalu, tanpa lama menunggu, kereta membawa saya ke Stasiun Jakarta Kota. Saya sengaja mengulur waktu untuk tiba di kost dengan tidak mengambil tujuan ke Pasar Minggu. Saya mengikuti kereta hingga sampai di tujuan terakhir, Jakarta Kota. Dari Jakarta Kota, saya memilih untuk naik busway ke Blok M. Usaha saya untuk mengulur waktu berhasil. Kemacetan di jalan membuat busway sedikit tersendat. Pukul 22.30 saya tiba di Blok M, selanjutnya saya memilih untuk berjalan kaki ke kost yang berada di Kemang. 30 menit berjalan kaki, membuat saya lelah dan jatuh tertidur.
Orang waras mana yang akan melakukan hal semacam itu?
Hal lain yang pernah saya lakukan adalah saya pergi ke Parung Panjang dengan commuter line. Lagi-lagi tanpa tujuan. Saya sempat salah membeli tiket tujuan. Tiket yang saya maksud adalah Serpong, tapi petugas ticketing menganggap saya akan pergi ke Tangerang. Berangkat dari Kebayoran Lama, saya menuju Tanah Abang. Dari Tanah Abang, saya menyadari kesalahan itu. Akhirnya, dengan bantuan satpam, saya bisa mengganti tiket harian tujuan ke Parung Panjang dengan konsekuensi tiket harian saya ke Tangerang hangus.
Dari Tanah Abang, saya tiba di Parung Panjang lepas Magrib. Tidak seperti dugaan saya, Stasiun Parung Panjang ternyata terletak tak jauh dari pasar dan berada di kawasan pedesaan. Saat malam, pasar dan stasiun sudah lumayan sepi. Merasa salah jurusan dan tidak tahu harus kemana, akhirnya saya memutuskan untuk berjalan melewati pasar dan sampailah saya di jalan raya yang sempit tapi ramai oleh container-container dan truk-truk besar. Saya memutuskan untuk singgah di sebuah warung nasi goreng, memesan satu porsi nasi goreng sembari mengamati kondisi jalanan bergelombang yang dilalui truk-truk besar itu. Langit yang tadi masih menyisakan garis-garis merah berubah menjadi gelap. Setelah menghabiskan seporsi nasi goreng di piring, saya memutuskan pulang.
Kegilaan-kegilaan itu seolah menjadi candu saat saya sedang dalam suasana yang tidak stabil.
Teman-teman saya menganggap saya gila dan kurang kerjaan. Saya mengakuinya dan sama sekali tidak menyesalinya.
Di dalam kegilaan-kegilaan yang pernah saya lakukan, saya menemukan kesepian dan berusaha menyelaminya. Di dalam ranah pertemanan pun pergaulan saya, sangat sedikit orang yang selaras dengan saya. Mereka, orang-orang kanan yang terlahir konvensional itu terlalu takut pada segala sesuatu. Terkekang. Tidak bebas. Menjadi robot. Dan itu mengerikan.
Saya memilih untuk menjadi orang nekat, meski tidak jarang nekat yang saya lakukan justru menjadi bumerang bagi saya. Tapi setidaknya, dengan melakukan kegilaan, saya berhasil keluar dari zona nyaman saya. Saya yang sedari kecil tidak berani kemana-mana tanpa ibu, ternyata bisa melakukan perjalanan di tempat yang bahkan belum pernah saya kunjungi, seorang diri. Orang cenderung berani jika sudah terdesak dan tidak memiliki pilihan. Yang saya lakukan adalah semata-mata ingin menumbuhkan keberanian itu. Sebab keberanian bukanlah sebuah talenta. Keberanian adalah sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang harus kita perjuangkan.[1]
Saya pernah takut pada kesepian. Di dalam kesepian, suara-suara lain seolah muncul sebagai doktrin yang tidak jarang menguasai diri saya. Untuk itulah saya lari, berusaha agar terhindar dari kesepian itu. Dan barangkali ketakutan itulah yang membuat saya melakukan kegilaan semacam itu.
Meski mengaku menikmati kesepian, pada dasarnya orang-orang terlalu takut pada kesepian. Dan lupa, membiarkan diri menjadi orang lain adalah harga yang terlalu mahal untuk hanya mendapatkan perhatian.[2]
Denganmu, tenang...
Tak terpikir dunia ini.
Karenamu, tenang...
Semua khayal seakan kenyataan.
Dalam commuter line jurusan Bogor, hujan meretih membasahi jendela. Suara Ari Lesmana mengalun sendu melalui sepasang earphone yang tersemat di telinga saya, mengingatkan saya pada lelaki itu; El.
Semenjak terakhir kali bertemu dengannya beberapa tahun silam, tiba-tiba saya mengingatnya kembali. El yang frontal dan dinamis, yang suka melakukan kegilaan-kegilaan dan petualangan-petualangan itu telah lama hilang.
El tanpa saya duga ternyata mengajari saya banyak hal. Tentang aroma kopi di pagi hari, tentang pedesaan, tentang musik-musik indie, tentang buku-buku, tentang pengalaman-pengalaman yang tidak pernah tandas untuk diceritakan, tentang keberanian, dan juga tentang cinta.
El yang membuat keberanian saya menulis timbul kembali. Sebab, apa yang dikatakan Pramodya Ananta Toer benar. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. El melakukannya. Dia menulis pengalamannya, hal yang sama juga dilakukan Sekar hingga  Sekar dan semua teman-teman di Djeladjah memutuskan untuk membuat sebuah penerbitan.
El juga mengajari saya, bahwa menjadi kiri dan idealis tidak selamanya buruk. Berbeda justru menunjukkan kualitas kita, berbeda menjadikan kita otentik, tidak mainstream, unik. Sebagaimana yang pernah dikatakan Hemingway; Dunia menghancurkan semua orang, dan setelahnya, sebagian masih berdiri tegar di tempat-tempat yang luluh lantak.
Aku berbeda...
Aku berbeda...
Menjadi kiri adalah berusaha membatasi diri. Bukan karena egois, tapi karena selektif. El melakukan apa yang menurutnya benar. Dia melawan yang tidak seharusnya benar dan mempertahankan yang seharusnya benar, meski akhirnya dia menyerah. Bukan karena kalah, tapi sebaliknya. El membuktikan bahwa pada dasarnya orang yang selaras akan selalu tinggal. Dan yang tidak selaras sudah pasti akan pergi. Hanya saja kita tidak pernah tahu bagaimana cara yang tepat untuk merelakan. Sebagaimana yang ditunjukkan El dan Sekar, mereka selaras dan selalu menemukan.
Di tengah kericuhan yang terjadi, dia ada dan menjadi.
El adalah cerminan dari jiwa-jiwa merdeka, yang tidak tunduk pada apapun, selain Tuhan.
Melalui kegilaan-kegilaan, saya berusaha menemukan, belajar untuk menjadi merdeka. Menghargai apa yang jiwa saya yakini. Tapi satu hal yang saya tahu, pertemanan, patah hati, perjalanan atau bahkan petualangan, semua memiliki hakikat yang sama. Bahwa puncak yang sejati adalah pulang.[3]



Jakarta, Maret 2018



Gambar pinjam di sini

Judul : Jalan Pulang
Penulis : Jazuli Imam
Penerbit : Djeladjah Pustaka
Tebal : 300 hlm, 140 x 210 mm
Genre : Fiksi, Drama, Perjalanan
ISBN : 978-602-336-465-7




[1] Hal 199
[2] Hal 271
[3] Hal 135