El bilang, kalau saya ke Jogja jangan lupa mampir ke Djeladjah.

Maka sekembalinya saya dari Merbabu, saya turuti saran El mengunjungi kedai kopi di kawasan Sleman tersebut. Bukan kedai kopi mewah seperti kedai-kedai kopi di Jakarta, Djeladjah memiliki konsep yang unik. Dan sesuai dengan namanya, kedai tersebut mungkin memang ditujukan sebagai tempat singgah bagi para ‘pejalan’. Tulisan ‘@djeladjah’ yang berada di atas pintu masuk menyambut kedatangan saya sore itu. Didesain bergaya old school dengan dominasi batu bata merah, bambu hitam dan kursi-kursi kayu yang dipelitur coklat serta penerangan yang tidak berlebihan menjadikan suasana di Djeladjah terasa hangat dan sendu. Tampak pula foto-foto perjalanan yang dilakukan El bersama dengan teman-temannya serta pelbagai macam kata mutiara dan puisi-puisi pendaki yang memang sengaja diletakkan sebagai pemanis tembok.


Saya melihat rak mungil yang berisi bermacam-macam buku di sudut ruangan, tepat di depan meja barista yang semakin nampak manis dengan standing hanger−tempat menggantungkan kain tenun beraneka warna. Bukan itu saja yang mampu menyita perhatian saya. Di dekat papan nama Djeladjah, sebuah hammock berwarna jingga tergantung. Saya jadi membayangkan duduk di hammock itu, menyesap secangkir Toraja ditemani sebuah buku di tengah hujan yang dingin.

Kopi, buku, cinta...

... dan summit.

Sebuah kombinasi yang belakangan ini membuat saya seperti menemukan jati diri saya sendiri.

Sore itu gerimis turun satu-satu. Saya meletakkan carrier di sebuah kursi yang berada tepat di bawah foto-foto. Lantunan Sepasang Kekasih Yang Bercinta Di Luar Angkasa menjadi pengantar sore yang baik. Tidak banyak pengunjung yang menyempatkan singgah. Hanya ada seorang lelaki berambut ikal yang kemudian menghampiri saya dengan membawakan sebuah buku menu. Buku menu itu berwarna coklat dan berisi menu-menu yang sengaja menggunakan nama-nama daerah dan gunung, menandakan yang empunya mungkin seorang pejalan juga.

Tidak butuh waktu lama untuk akhirnya saya memesan Prau, sebuah kopi latte dan tahu tempe cocol yang diberi nama Seloprojo.

Perjalanan ke Merbabu menjadi perjalanan kesekian kalinya bagi saya yang meninggalkan begitu banyak kisah, selain pertemuan kembali dengan El yang tentunya memberikan kesan tersendiri. Lelaki itu begitu eksentrik. Pemahamannya tentang gunung dan alam sudah tidak diragukan lagi. Tidak hanya mengajak saya mendaki, El juga mengajarkan kepada saya perihal sesuatu yang tidak saya dapatkan di lingkungan kampus atau buku manapun, El mengajarkan saya perihal rasa dan kepedulian.

Rasa yang membuatnya selalu ingin kembali dan melakukan perjalanan-perjalanan. Rasa yang bahkan tidak bisa dirangkai dalam kalimat sekali pun.

Lelaki berambut ikal yang tadi membawa buku menu akhirnya mengantarkan latte pesanan saya. Satu-persatu pengunjung mulai berdatangan, pengunjung yang mungkin sudah begitu familiar dengan Djeladjah−sebagaimana El, Sekar dan kedua sahabat mereka yang menjadikan Djeladjah sebagai rumah kedua.

Sore perlahan menjadi malam dan gerimis semakin menderas. Saya sesap latte di cangkir berwarna putih susu itu. Ada gelenyar hangat yang menimbulkan perasaan lega di dada saya. Perasaan hangat yang entah datang dari mana.

“Orang gunung itu baik ya.”

“Pada dasarnya semua orang terlahir baik,” kata El suatu ketika. “tapi alam lah yang jauh lebih baik,” dia melanjutkan.

El benar. Alam memberikan semua yang manusia butuhkan dalam jumlah yang melimpah. Air, udara, tanaman, semua diciptakan secara cuma-cuma. Hanya saja manusia banyak yang berpikir konsumtif, instan dan tidak bisa menjaga alam. Banyak dari mereka yang melakukan pendakian hanya untuk kesenangan semata. Melakukan vandalisme dan mencemari gunung dengan sampah-sampah yang tidak bisa terurai.

Seloprojo sudah tersaji di meja. Masih mengepul dan memang cocok jika disajikan di suasana gerimis seperti sore ini. Sambil menikmati Seloprojo yang saya pesan, saya mengamati foto-foto dan membaca puisi-puisi yang tertempel di tembok batu bata itu.

Saya kagum dengan orang seperti El.

Di tengah hingar bingar kehidupan yang semakin tidak jelas ini, El ada dan menjadi. Dia menumbuhkan semangat dan keinginan untuk melindungi alam lebih baik lagi, melalui sikap dan perbuatan. Dia melakukannya secara cuma-cuma dan tanpa imbalan apapun. Saya juga ingat kebiasaannya mengubah dunia. Dia akan rutin pergi ke pasar burung, membeli beberapa ekor burung kemudian melepaskannya.

“Ge, apa yang membuatmu senang mendaki?”

Suatu ketika El pernah bertanya pada saya. Rara Sekar dengan Hujan di Mimpi-nya perlahan menggantikan Frau yang sedari tadi mengalun lembut di ruangan itu.

“Karena mendaki membuatku menemukan jalan pulang.” Saya menjawab. El tersenyum. Lalu dia sesap Toraja-nya yang sudah mendingin. Dia menyulut api dan membakar kretek. Seketika asap putih mengepul dari bibirnya yang bergetar.

Di luar, hujan masih bergemericik. Aroma hujan bercampur dengan aroma kopi yang digiling membuat saya mengingat malam-malam sewaktu berada jauh dari hingar bingar manusia di perkotaan yang sibuk. Kehangatan dalam tenda yang tercipta dari senda gurau yang diiringi desau angin dan derit serangga musim panas serta lagu-lagu indie yang sendu. Kehangatan yang menjalar saat berada di dalam sleeping bag dengan satu sesapan kopi yang sama. Kehangatan semacam itulah yang jarang saya temui di kota.  

Beberapa orang memilih berdamai dengan hujan, sementara beberapa yang lainnya memilih diam menunggu butiran-butiran itu meretih dengan lagu-lagu indie yang terputar di Djeladjah. Saya mengintip arloji yang melingkar di tangan kiri dan mendapati bahwa jarum jam masih jauh dari kata tua. Saya lantas mengayunkan langkah menuju rak buku di depan meja barista dan mengambil satu buah buku bersampul hitam yang bertuliskan Jalan Pulang.

Malam ini, saya putuskan untuk menghabiskan sedikit waktu lebih lama di Djeladjah dengan secangkir Prau yang saya pesan untuk kali kedua.




 Jakarta, Maret 2018