Minggu, 18 Maret 2018


Suatu ketika saya pernah berpikir, jika kelak saya mati, adakah seseorang yang menangisi saya? Atau bahkan mengenang saya?

Saya takut.

Bukan takut mati. Tapi takut jika ingatan orang-orang terdekat saya terhadap saya akan hilang. Jika selama hidup saya memiliki banyak teman, selalu ada dalam kondisi apapun saat mereka membutuhkan bantuan, tertawa, berkumpul, lalu setelah saya mati mereka mungkin akan lupa jika saya pernah berada di tengah-tengah mereka. Saya mati, mereka tetap saja tertawa. Bahkan, jika terlalu bahagia, terkadang mereka akan lupa jika saya pernah menjadi bagian yang sering mereka sebut teman. Kenyataannya, saya akan terlupakan.

Bukankah menjadi seseorang yang terlupakan itu sangat menyakitkan?

Dulu saya tidak pernah pandai bergaul. Masa kecil saya hanya sebatas buku-buku pelajaran, terkadang boneka-boneka atau mainan yang dipinjamkan ibu dari tempatnya mengajar. Jikapun ada teman, hanya beberapa yang benar-benar dekat dengan saya, selebihnya hanya dekat dengan tujuan tertentu, nilai.

Sabtu, 17 Maret 2018


Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk bisa ‘menemukan’, salah satunya dengan melakukan kegilaan. Sebagaimana Sekar yang nekat ke Papua untuk menemui El, atau El yang melakukan banyak perjalanan untuk mencari esensi dari kata ‘menemukan’ itu sendiri.
Omong-omong soal kegilaan, ada kalanya dalam hidup kita melakukan sekali atau dua kali kegilaan agar hidup tidak berjalan stagnan. Lantas tanpa rencana, malam itu saya melakukannya lagi. Kegilaan kali keempat yang saya ingat.
Dari Depok, saya berencana pergi ke Tambun dengan commuter line. Saya ingin mengunjungi Gedung Juang yang tidak jauh dari stasiun karena menikmati arsitektur-arsitektur tua adalah kesenangan saya yang lain. Pukul 18.00 kereta sampai di Manggarai. Jika tidak punya keperluan mendesak, pergi ke Bekasi di jam-jam ‘rawan’ adalah sebuah kebodohan. Karena seperti dugaan saya, antrean manusia di jalur Bekasi sudah seperti ikan asin yang siap untuk digoreng. Saya menghela napas. Tidak mau mengambil resiko, saya memutuskan ke Stasiun Jakarta Kota dengan harapan kereta ke Bekasi akan sepi. Sepanjang perjalanan ke Jakarta Kota, semburat merah senja menciptakan siluet-siluet gedung pencakar langit. Yang saya tahu, orang-orang Jakarta selalu melupakan senja. Di jam-jam saat jalanan mendadak penuh dan macet atau saat orang-orang berlarian mengejar kereta dan berdesak-desakan di dalam angkutan-angkutan umum, sudah pasti itu adalah saat senja. Maka, semburat merah yang saya lihat itu adalah kesepian. Sangat sedikit orang Jakarta yang mengabadikan senja dan cenderung lupa bahwa Tuhan menciptakan semburat jingga yang luar biasa indah di penghabisan siang, setiap harinya. Beberapa orang Jakarta justru sibuk  mengabadikan antrean-antrean di jalur kereta yang seperti ikan asin itu, memikirkan menu makanan paling enak untuk mengenyangkan perut yang keroncongan dan mereka melupakan senja.
Menuju Isya, kereta saya sampai di Jakarta Kota. Turun dari kereta, saya memutuskan untuk duduk sebentar menikmati rumput laut kering. Kereta yang tadi saya naiki, kembali melanjutkan perjalanan ke Bekasi. Tidak lama berselang, kereta Bekasi yang selanjutnya datang. Dugaan saya tepat. Jurusan Bekasi tidak terlalu ramai dari Jakarta Kota sehingga saya mendapat tempat duduk di dekat pintu. Malam merangkak naik,  kereta mengalami delay cukup lama di sepanjang jalur menuju Manggarai yang membuat rencana saya ke Tambun sudah bukan menjadi prioritas saya saat saya melihat jam di layar handphone. Menuju Manggarai, penumpang kembali berdesak-desakan. Kereta melaju seperti biasa ke Bekasi, mengantarkan pekerja-pekerja yang lebih suka berlarian ketika kereta mulai memasuki peron.
Saya memutuskan untuk ikut kereta ke Bekasi. Dan sesampainya kereta di Bekasi, saya tidak mengikuti penumpang-penumpang lain untuk turun. Saya masih di tempat duduk yang sama, memutuskan untuk kembali mengikuti kereta ke Jakarta Kota.
Stasiun yang terdekat dari kost saya adalah Stasiun Duren Kalibata. Untuk sampai di Kalibata, saya bisa saja transit di Manggarai dan mengambil kereta jurusan Bogor. Lebih cepat dan menghemat waktu. Tapi saya memilih rute terjauh. Saya turun di Jatinegara. Dari Jatinegara, saya mengambil kereta jurusan Bogor yang memakan waktu karena harus melewati Pasar Senen dan Tanah Abang sebelum sampai ke Kalibata.
Sepanjang perjalanan dari Depok – Manggarai - Jakarta Kota – Bekasi – Jatinegara – Kalibata, saya habiskan dengan membaca buku.
Sekedar ingin mengusir kebosanan atau menciptakan lelah atau sekedar hanya ingin melihat lalu lalang orang, tidak jarang saya melakukan perjalanan kereta tanpa tujuan. Kali pertama saya pernah melakukan perjalanan ke Surabaya, dua hari, dengan kereta. Saat itu, kereta Gayabaru jurusan Surabaya Gubeng masih berangkat dari Stasiun Jakarta Kota. Jadual keberangkatan kereta tercetak pukul 11.30 di tiket. Dengan menggunakan busway, saya berangkat dari kost di kawasan Kemang. Jalanan di Jakarta memang susah diprediksi. Jelang 10 menit keberangkatan kereta, saya masih terjebak di halte Harmoni. Kepanikan dan suhu pendingin di busway membuat telapak tangan saya basah. Suara detak jantung menyamarkan suara klakson-klakson kendaraan di jalanan raya, kala itu.
Tiga menit menuju keberangkatan, saya sampai di halte Jakarta Kota. Tanpa pikir panjang, saya langsung mempercepat langkah, menyusuri tangga dan lorong-lorong menuju stasiun. Sesampainya di stasiun, kereta sudah bergerak. Tanpa memedulikan speaker dan tanpa melakukan checking tiket, saya langsung berlari memasuki gate. Dua orang polsuska yang saat itu tengah berdiri di pintu gerbong paling belakang melihat saya. Dengan baik hati, mereka menunda pintu tertutup. Lalu dengan perkataan yang masih lekat dalam ingatan saya, mereka menyuruh saya menaiki gerbong mana saja. Viola! Separuh jantung saya mencelos. Saya berhasil naik.
Setelah berhasil mengatur ritme napas, saya mencari gerbong di mana saya akan duduk. 19 E, gerbong 2, saya berhasil menemukannya. Tempat duduk itulah yang membuat saya bertemu lelaki eksentrik yang gemar bercerita tentang gunung.
Kereta mengalami keterlambatan. 30 menit berlalu dari jadual kedatangan, saya tiba di Surabaya pukul 02.30 dini hari. Saat itu langit Surabaya gelap meski ada secercah merah hasil radiasi lampu-lampu kota. Dengan sepeda motor, saya pergi ke kawasan Kureksari, Waru, Sidoarjo. Di kamar indekos saudara saya yang notabene sudah berkeluarga itulah saya ‘numpang tidur’ yang tidak benar-benar tidur. Karena pukul 09.00 selepas sarapan sederhana, saya bertolak kembali ke Jakarta, dengan menaiki kereta yang sama.
Barangkali banyak alasan kenapa kita melakukan kegilaan dan melakukan hal-hal di luar nalar. Salah satunya mungkin karena hati yang teramat jatuh. Pengalaman itulah yang membuat saya melakukan perjalanan kereta tanpa tujuan. Pernah suatu ketika, dari Stasiun Pasar Minggu, commuter line di jam-jam padat mengantarkan saya ke Stasiun Bogor. Matahari sudah tenggelam sempurna ketika saya sampai di Bogor, seorang diri. Tidak tahu harus kemana dan harus berbuat apa, akhirnya saya membeli seplastik tahu yang biasa dijajakan di pinggiran stasiun. Saya berjalan dengan suasana asing. Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Angkot-angkot berklakson dengan tujuan menarik penumpang. Pedagang-pedagang tidak berhenti menawarkan dagangan. Suasana semacam itu lekat dalam ingatan saya. Akhirnya, di depan Taman Kopi yang ramai dengan pengamen dan pedagang, saya menghabiskan potongan demi potongan tahu yang saya beli. Rasa pedas cabai membuat air mata saya meleleh yang segera saya netralkan dengan sebotol air mineral yang saya bawa.
Setelah tahu habis, saya memutuskan untuk kembali. Tiket tujuan Stasiun Jakarta Kota sudah ada di tangan. Berbeda dengan keberangkatan yang penuh sesak, kali ini suasanya lumayan lengang. Saya mendapat tempat duduk di samping seorang bapak-bapak. Lalu, tanpa lama menunggu, kereta membawa saya ke Stasiun Jakarta Kota. Saya sengaja mengulur waktu untuk tiba di kost dengan tidak mengambil tujuan ke Pasar Minggu. Saya mengikuti kereta hingga sampai di tujuan terakhir, Jakarta Kota. Dari Jakarta Kota, saya memilih untuk naik busway ke Blok M. Usaha saya untuk mengulur waktu berhasil. Kemacetan di jalan membuat busway sedikit tersendat. Pukul 22.30 saya tiba di Blok M, selanjutnya saya memilih untuk berjalan kaki ke kost yang berada di Kemang. 30 menit berjalan kaki, membuat saya lelah dan jatuh tertidur.
Orang waras mana yang akan melakukan hal semacam itu?
Hal lain yang pernah saya lakukan adalah saya pergi ke Parung Panjang dengan commuter line. Lagi-lagi tanpa tujuan. Saya sempat salah membeli tiket tujuan. Tiket yang saya maksud adalah Serpong, tapi petugas ticketing menganggap saya akan pergi ke Tangerang. Berangkat dari Kebayoran Lama, saya menuju Tanah Abang. Dari Tanah Abang, saya menyadari kesalahan itu. Akhirnya, dengan bantuan satpam, saya bisa mengganti tiket harian tujuan ke Parung Panjang dengan konsekuensi tiket harian saya ke Tangerang hangus.
Dari Tanah Abang, saya tiba di Parung Panjang lepas Magrib. Tidak seperti dugaan saya, Stasiun Parung Panjang ternyata terletak tak jauh dari pasar dan berada di kawasan pedesaan. Saat malam, pasar dan stasiun sudah lumayan sepi. Merasa salah jurusan dan tidak tahu harus kemana, akhirnya saya memutuskan untuk berjalan melewati pasar dan sampailah saya di jalan raya yang sempit tapi ramai oleh container-container dan truk-truk besar. Saya memutuskan untuk singgah di sebuah warung nasi goreng, memesan satu porsi nasi goreng sembari mengamati kondisi jalanan bergelombang yang dilalui truk-truk besar itu. Langit yang tadi masih menyisakan garis-garis merah berubah menjadi gelap. Setelah menghabiskan seporsi nasi goreng di piring, saya memutuskan pulang.
Kegilaan-kegilaan itu seolah menjadi candu saat saya sedang dalam suasana yang tidak stabil.
Teman-teman saya menganggap saya gila dan kurang kerjaan. Saya mengakuinya dan sama sekali tidak menyesalinya.
Di dalam kegilaan-kegilaan yang pernah saya lakukan, saya menemukan kesepian dan berusaha menyelaminya. Di dalam ranah pertemanan pun pergaulan saya, sangat sedikit orang yang selaras dengan saya. Mereka, orang-orang kanan yang terlahir konvensional itu terlalu takut pada segala sesuatu. Terkekang. Tidak bebas. Menjadi robot. Dan itu mengerikan.
Saya memilih untuk menjadi orang nekat, meski tidak jarang nekat yang saya lakukan justru menjadi bumerang bagi saya. Tapi setidaknya, dengan melakukan kegilaan, saya berhasil keluar dari zona nyaman saya. Saya yang sedari kecil tidak berani kemana-mana tanpa ibu, ternyata bisa melakukan perjalanan di tempat yang bahkan belum pernah saya kunjungi, seorang diri. Orang cenderung berani jika sudah terdesak dan tidak memiliki pilihan. Yang saya lakukan adalah semata-mata ingin menumbuhkan keberanian itu. Sebab keberanian bukanlah sebuah talenta. Keberanian adalah sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang harus kita perjuangkan.[1]
Saya pernah takut pada kesepian. Di dalam kesepian, suara-suara lain seolah muncul sebagai doktrin yang tidak jarang menguasai diri saya. Untuk itulah saya lari, berusaha agar terhindar dari kesepian itu. Dan barangkali ketakutan itulah yang membuat saya melakukan kegilaan semacam itu.
Meski mengaku menikmati kesepian, pada dasarnya orang-orang terlalu takut pada kesepian. Dan lupa, membiarkan diri menjadi orang lain adalah harga yang terlalu mahal untuk hanya mendapatkan perhatian.[2]
Denganmu, tenang...
Tak terpikir dunia ini.
Karenamu, tenang...
Semua khayal seakan kenyataan.
Dalam commuter line jurusan Bogor, hujan meretih membasahi jendela. Suara Ari Lesmana mengalun sendu melalui sepasang earphone yang tersemat di telinga saya, mengingatkan saya pada lelaki itu; El.
Semenjak terakhir kali bertemu dengannya beberapa tahun silam, tiba-tiba saya mengingatnya kembali. El yang frontal dan dinamis, yang suka melakukan kegilaan-kegilaan dan petualangan-petualangan itu telah lama hilang.
El tanpa saya duga ternyata mengajari saya banyak hal. Tentang aroma kopi di pagi hari, tentang pedesaan, tentang musik-musik indie, tentang buku-buku, tentang pengalaman-pengalaman yang tidak pernah tandas untuk diceritakan, tentang keberanian, dan juga tentang cinta.
El yang membuat keberanian saya menulis timbul kembali. Sebab, apa yang dikatakan Pramodya Ananta Toer benar. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. El melakukannya. Dia menulis pengalamannya, hal yang sama juga dilakukan Sekar hingga  Sekar dan semua teman-teman di Djeladjah memutuskan untuk membuat sebuah penerbitan.
El juga mengajari saya, bahwa menjadi kiri dan idealis tidak selamanya buruk. Berbeda justru menunjukkan kualitas kita, berbeda menjadikan kita otentik, tidak mainstream, unik. Sebagaimana yang pernah dikatakan Hemingway; Dunia menghancurkan semua orang, dan setelahnya, sebagian masih berdiri tegar di tempat-tempat yang luluh lantak.
Aku berbeda...
Aku berbeda...
Menjadi kiri adalah berusaha membatasi diri. Bukan karena egois, tapi karena selektif. El melakukan apa yang menurutnya benar. Dia melawan yang tidak seharusnya benar dan mempertahankan yang seharusnya benar, meski akhirnya dia menyerah. Bukan karena kalah, tapi sebaliknya. El membuktikan bahwa pada dasarnya orang yang selaras akan selalu tinggal. Dan yang tidak selaras sudah pasti akan pergi. Hanya saja kita tidak pernah tahu bagaimana cara yang tepat untuk merelakan. Sebagaimana yang ditunjukkan El dan Sekar, mereka selaras dan selalu menemukan.
Di tengah kericuhan yang terjadi, dia ada dan menjadi.
El adalah cerminan dari jiwa-jiwa merdeka, yang tidak tunduk pada apapun, selain Tuhan.
Melalui kegilaan-kegilaan, saya berusaha menemukan, belajar untuk menjadi merdeka. Menghargai apa yang jiwa saya yakini. Tapi satu hal yang saya tahu, pertemanan, patah hati, perjalanan atau bahkan petualangan, semua memiliki hakikat yang sama. Bahwa puncak yang sejati adalah pulang.[3]



Jakarta, Maret 2018



Gambar pinjam di sini

Judul : Jalan Pulang
Penulis : Jazuli Imam
Penerbit : Djeladjah Pustaka
Tebal : 300 hlm, 140 x 210 mm
Genre : Fiksi, Drama, Perjalanan
ISBN : 978-602-336-465-7




[1] Hal 199
[2] Hal 271
[3] Hal 135

Senin, 12 Maret 2018

Tiba-tiba saja aku mengingat perjalananku.
Perjalanan ke Cibodas yang dilakukan malam hari selepas Isya dari Terminal Kampung Rambutan yang pengap. Polusi asap kendaraan berbaur dengan asap rokok dan keringat orang-orang yang belum memiliki niatan untuk pulang. Barangkali itu karena sebuah kebutuhan atau tuntutan untuk mencari beberapa rupiah demi sesuap nasi untuk esok hari. Kehidupan di Jakarta memang keras seperti apa yang dikatakan bapak ketika aku berniat ingin menghabiskan separuh usiaku di kota itu.
Berbeda dengan suasana di kampung halaman yang sejuk dengan suara-suara serangga musim panas serta langit yang penuh dengan bintang, tempatku berpijak sekarang justru penuh dengan suara-suara klakson kendaraan. Umpatan dari sopir-sopir angkot, percakapan tukang buah dan pedagang lain atau suara kondektur bus yang berusaha mencari penumpang. Ke Garut, Tasikmalaya, Kuningan ataupun destinasi lain yang belum pernah kukunjungi.
Saat itu bulan Juli penghabisan. Tahun kemarin hujan turun deras hingga membuat luapan air dari selokan-selokan naik dan menyebabkan jalan tergenang. Bulan Juli dan Agustus memang bulan yang baik untuk naik gunung. Terlebih jika cuacanya sedang cerah, seperti Juli tahun ini.
Aku pergi bersama dua orang temanku. Teman kampus. Keduanya berbadan kurus dengan rambut gondrong sebatas bahu. Kebanyakan anak design atau anak seni memang memilih untuk memanjangkan rambutnya. Mereka cenderung tidak mau terikat dengan aturan-aturan membosankan dan memilih hidup bebas dengan mengapresiasi apapun.

Jumat, 09 Maret 2018

Orang yang suka mendaki adalah mereka yang sudah berdamai dengan kesepiannya sendiri-sendiri.
Malam itu di pasar Cibitung yang pengap, truk sayur yang akan membawa saya serta ketiga teman saya, terparkir. Selepas semester berat yang sudah kami jalani dan sebagai pembuka datangnya libur semester ini, kami berencana mengadakan sebuah perayaan kecil. Rencana mendaki gunung seolah merupakan agenda rutin yang harus dilaksanakan selepas ujian semester. Maka, di Stasiun Cibitung itulah kami bertemu. Dengan sebatang rokok yang tersemat di sela-sela jari, kedua teman saya sudah menunggu lebih dulu. Mereka telah siap dengan carriernya. Dan perjalanan ini adalah kali pertama saya naik truk ke Garut. Yang selanjutnya akan membawa kami ke basecamp Tapak Geurot di daerah Cigedug.

Dari Cibitung, truk berangkat pukul dua pagi. Saat malam tiba, banyak truk sayur yang memang menjadi alternatif transportasi para pendaki untuk sampai ke Garut. Truk yang membawa saya hanya berisi delapan orang penumpang. Tiga pendaki Guntur, satu warga Garut, tiga teman saya dan saya sendiri. Langit berwarna biru pekat dengan sedikit pantulan sinar bulan yang menyatu dengan lampu-lampu jalan. Di dalam bak, angin yang berhembus kencang memaksa saya merapatkan jaket. Saya memandangi langit dengan bulannya yang seolah-olah mengikuti laju kendaraan. Pohon-pohon yang terkadang memayungi langit, plang-plang penunjuk jalan, lampu-lampu jalan yang masih saja temaram, semua terasa dekat di atas kepala saya. Beratapkan langit, saya terlelap dengan pikiran-pikiran yang berkonotasi seolah mencari definisi makna yang saya rangkai sendiri.

Rabu, 07 Maret 2018

Hari ini aku sengaja pulang lima belas menit lebih awal dari biasanya. Bukan tanpa alasan, melainkan karena aku tidak mau kehilangan matahari pukul lima empat lima yang menggantung di langit-langit Jakarta.
Aku lupa sudah berapa lama aku tenggelam dalam rutinitas kerja yang itu-itu saja, hingga tak pernah lagi mengabadikan momen-momen berharga seperti saat ini.
Aku memilih sebuah kedai kopi tak jauh dari Stasiun Sudirman yang padat dan sengaja memilih kursi yang sama sebagaimana aku selalu berkunjung ke tempat itu. Sebuah kursi kayu berwarna coklat yang tepat berada di dekat jendela. Menghadap senja. Laptop di depanku menyala, menampilkan kursor yang berkedip-kedip di halaman Microsoft Word yang masih bersih. Di samping laptop itu, secangkir kopi masih menguarkan aroma dan uap panas. Aku sudah memesannya dua kali. Kopi pertama sudah tandas sepuluh menit yang lalu, sementara belum ada satu huruf pun yang bisa aku rangkai.
Jarum jam di tanganku hampir merangkak pada angka lima empat lima. Matahari mulai condong, membiaskan cahaya kemerahan yang memantul lewat jendela. Cahaya itu tepat mengenai cangkir kopiku. Cahaya yang suram. Terlihat lebih pucat atau hanya perasaanku saja?

Selasa, 06 Maret 2018

Gambar pinjam di sini
Belakangan ini gaya hidup menyesap kopi kembali menjadi trend di kalangan anak muda. Hal itu memicu munculnya kedai-kedai kopi berkonsep unik dan menjadikan bisnis kopi sebagai sesuatu yang menjanjikan. Dengan melakukan banyak inovasi pada minuman kopi, menjadikan kopi sebagai minuman yang tidak pernah lekang oleh zaman. Dan tidak hanya identik dinikmati oleh mereka yang berusia baya, kopi kini bisa dinikmati oleh semua kalangan, kapan pun dan dimanapun seolah kebiasaan minum kopi memang merupakan sebuah tradisi turun menurun mengingat Indonesia sendiri adalah salah satu penghasil kopi terbesar di dunia.

Suatu ketika, saya pernah punya angan-angan mendirikan kedai kopi yang di dalamnya terdapat buku-buku dan galeri.

Lalu tanpa sengaja teman saya mengajak saya ke Jabat Kopi.

Kamis, 01 Maret 2018

El bilang, kalau saya ke Jogja jangan lupa mampir ke Djeladjah.

Maka sekembalinya saya dari Merbabu, saya turuti saran El mengunjungi kedai kopi di kawasan Sleman tersebut. Bukan kedai kopi mewah seperti kedai-kedai kopi di Jakarta, Djeladjah memiliki konsep yang unik. Dan sesuai dengan namanya, kedai tersebut mungkin memang ditujukan sebagai tempat singgah bagi para ‘pejalan’. Tulisan ‘@djeladjah’ yang berada di atas pintu masuk menyambut kedatangan saya sore itu. Didesain bergaya old school dengan dominasi batu bata merah, bambu hitam dan kursi-kursi kayu yang dipelitur coklat serta penerangan yang tidak berlebihan menjadikan suasana di Djeladjah terasa hangat dan sendu. Tampak pula foto-foto perjalanan yang dilakukan El bersama dengan teman-temannya serta pelbagai macam kata mutiara dan puisi-puisi pendaki yang memang sengaja diletakkan sebagai pemanis tembok.